Raup Omzet 200 Juta Per Bulan Dari Bisnis Ramen, Kisah Inspiratif Mimma, Owner Ramenhead Kuliner Yogyakarta

Menggebrak Gengsi, Memanen Ratusan Juta: Kisah Mimma dan Ramenhead.co, dari Kegagalan ke Empat Cabang Sukses

Ramen, hidangan mi asal Jepang yang terdiri dari mi berbentuk panjang dan tipis yang dimasak dalam kuah kaldu yang kaya rasa. Kuah kaldu pada umumnya dibuat dari kombu (rumput laut), ikan kering, atau tulang ayam yang direbus bersama rempah-rempah seperti bawang putih, jahe, atau mirin (anggur beras manis). Dalam ramen, mi biasanya disajikan bersama dengan topping seperti irisan daging, telur rebus, bawang putih, rumput laut, dan jamur. Ramen telah menjadi salah satu hidangan yang populer di seluruh dunia, dan variasi ramen yang berbeda-beda dapat ditemukan di berbagai restoran dan kedai mi.

Kisah Inspiratif Mimma, Owner Ramenhead

Di tengah gempuran aneka kuliner, sebuah nama mencuat di Yogyakarta: Ramenhead.co. Di balik kesuksesan yang cepat itu, berdiri sosok muda bernama Rismawati, yang akrab disapa Mimma. Di usia 20-an, Mimma berhasil membangun bisnis ramen yang tidak hanya viral tetapi juga kokoh secara finansial, dengan omzet bulanan mencapai ratusan juta Rupiah di setiap outlet. Dalam kurun waktu yang singkat, Ramenhead.co telah memiliki empat cabang dan bahkan membuka peluang franchise. Ini adalah kisah tentang keberanian, kejatuhan, dan semangat untuk menciptakan sesuatu yang dicintai banyak orang, bahkan ketika jalur yang diambil tidak sejalan dengan latar belakang akademisnya.

Mimma, Manajemen, dan "Gengsi" yang Dikesampingkan

Mimma adalah representasi sempurna dari generasi muda yang mendefinisikan ulang makna "kesuksesan". Dalam sebuah wawancara disaluran youtube Teman Ngopi Mimma menceritakan bahwa ia berasal dari Jambi dan merantau ke Jogja untuk menempuh pendidikan tinggi, mengambil S1 Manajemen di salah satu universitas terkemuka. Jalan ini, bagi kebanyakan orang tua, adalah jalur aman menuju karier yang stabil.

"Kuliah kamu karena biasanya kuliah itu kan tuntutan orang tua gitu ya jadi kita dituntut untuk kuliah kita dituntut untuk lulus kuliah," ujar Mimma, mengenang masa-masa tersebut.

Namun, di tengah kesibukan kuliah, jiwa wirausaha Mimma sudah bergejolak. Ia tidak menunggu hingga lulus untuk mencari uang. Pengalaman awalnya adalah perpaduan antara berbagai jenis usaha: menjadi model foto, mencoba peruntungan dengan menjual tas kulit (yang diakuinya "gagal, guys, tapi enggak apa-apa ya namanya bisnis enggak apa-apa"), hingga berjualan hijab karena tuntutan berhijab di kampus.

Setelah lulus, Mimma memiliki pilihan untuk bekerja sesuai jurusannya—Management—atau kembali ke bisnis keluarganya, sebuah toko bangunan di Jambi. Ia memilih untuk menjalankan toko bangunan tersebut karena menyadari potensi bisnis jangka panjang di sektor kebutuhan primer. Namun, hatinya tertambat pada Jogja, kota yang membuatnya "betah" dan "nyaman".

Keputusan untuk terjun ke bisnis Food and Beverage (F&B) di Jogja adalah sebuah taruhan besar. "Kalau FNB itu high risk ya, tapi seru," katanya. F&B memberinya ruang untuk mencipta (create something) dan mengaplikasikan ilmu manajemennya secara langsung, dari membangun tim hingga merancang sistem franchise.

Mimma, Owner Ramenhead Kuliner Yogyakarta

Pelajaran dari Jalan yang Berbeda

Mimma menekankan bahwa gelar akademis tidak selalu harus menentukan lintasan karier. Ia adalah lulusan Manajemen yang kini sukses sebagai owner ramen. "It's okay enggak sesuai sama kuliah kamu," ujarnya, menanggapi anggapan bahwa seseorang harus bekerja sesuai dengan jurusannya. "Yang mana belum tentu kita bekerja atau dapat cuan-nya ada di sesuai sama kuliah kita gitu sih kalau aku."

Pesan terpenting Mimma untuk anak muda adalah: kesampingkan gengsi. "Utamakan dulu deh kebutuhan primer kalian. Kalian cari sesuatu yang bisa menghasilkan dulu," tegasnya. Baginya, berbisnis ramen atau toko bangunan, meskipun tidak glamor atau tidak sesuai dengan passion awal, adalah jalan untuk mendapatkan cuan (keuntungan) yang akan menopang kehidupan. Baru setelah fondasi finansial kuat, passion bisa dikejar. Ia menyebutnya sebagai memiliki "pabriknya dulu".

 Awal Mula Ramenhead Insting, R&D Rumahan, dan Keberanian Buka Kedai

Kisah lahirnya Ramenhead.co berawal dari sebuah insting bisnis yang unik. Mimma menemukan sebuah coffee shop di Jogja yang dijual beserta seluruh isinya tempat, interior, bahkan alat kopi. "Ini lucu ceritanya," ia memulai. "Ada tempat yang dijual dulunya tempat itu adalah coffee shop... dijual satu set semua itu dijual."

Ia membeli tempat itu hanya berdasarkan feeling bahwa lokasinya "oke", meskipun ia bingung ingin menjadikannya apa. Setelah dibeli, ia menyadari Jogja sudah terlalu banyak coffee shop. Ia mencari ide: makanan apa yang tidak membosankan dan disukai orang Indonesia selain nasi? Jawabannya jelas: mi.

"Gimana kalau bikin ramen?" Keputusan itu diikuti dengan proses Research and Development (R&D) yang sepenuhnya ia lakukan di rumah. Ia sudah membeli tempat, tetapi resep ramennya belum ditemukan. Sambil merenovasi tempat yang dulunya bar kopi itu menjadi dapur terbuka (open kitchen), Mimma bereksperimen.

"Awalnya fail banget sih, pertama fail, kedua fail," kenangnya. Akhirnya, Mimma menemukan satu resep yang menurutnya oke dan, yang lebih penting, disukai oleh teman-temannya. Ia mengubah konsep bar menjadi Open Kitchen agar pelanggan bisa melihat proses memasak dan membuktikan bahwa ingredients yang digunakan segar.

Nama "Ramenhead" sendiri lahir dari kebingungan yang lucu, antara "Secret Ramen" atau "Ramenhead". Inspirasinya datang dari istilah seperti "sneaker head," yang merujuk pada orang yang sangat menyukai sneaker.

"Aku kepikiran kayak, 'Ya udah, Ramenhead aja'. Jadi orang yang suka banget di bidang, di makanan ramen. Makanya kasih aja, deh, gitu," jelasnya. Ia mengecek, dan ternyata nama itu belum digunakan orang lain.Inspirasi dari Kecintaan pada Masakan Sendiri

Faktor pendorong utama Mimma adalah kecintaannya pada masakan Jepang dan kepuasan melihat orang lain menikmati masakannya. "Aku bangga banget, guys. Ini tuh sama ramen karena ini masakan aku sendirian kalian tuh juga suka, gitu," katanya dengan bangga.

Mimma menegaskan bahwa ia adalah pencipta menu Ramenhead.co, tanpa latar belakang profesional. "Aku enggak ada basic masak sama sekali. Aku masak cuman buat keluarga, cuman buat suamiku, cuman buat anak aku, buat temen-temen. Tapi ternyata pada suka masakan aku sih, gitu."

Ia tidak pernah sekolah masak, tidak pernah magang di hotel. Semuanya bermodal suka. "Aku suka ketika orang makan masakan aku dan mereka bilang kayak enak, gitu. Aku suka kayak apa, ya, punya kenikmatan sendiri, gitu," ungkapnya.

Mimma, Owner Ramenhead Kuliner Yogyakarta

Titik Balik dan Strategi 'Antri' Ramenhead

Ketika Ramenhead.co dibuka, kesuksesan tidak datang secara instan. Bulan pertama adalah masa-masa perjuangan keras. Omzet harian hanya mencapai Rp100.000 hingga Rp150.000, padahal ia harus menggaji empat hingga lima karyawan dan membayar sewa tempat.

Mimma bahkan mengungkapkan sebuah titik terendah yang menyentuh:

"Di bulan pertama, di minggu kedua, itu kan kita sudah enggak ada kayak teman-teman yang diundang, gitu. Maka itu, yang beli itu aku sendiri. Jadi aku yang order Ramenhead lewat ojek online. Aku sendiri yang beli makanan aku senilai Rp25.000, aku beli dua, Rp50.000. Jadi Rp150.000 omset sehari, Rp50.000 itu dari aku sendiri."

Namun, Mimma memiliki filosofi yang kuat: ia lebih menyukai pertumbuhan yang bertahap—"pelan tapi naik"—daripada yang langsung booming dan rawan penurunan tajam. Ia ingin terbiasa dari bawah, sehingga ketika ada titik balik yang buruk, ia tidak kaget.

Kehilangan dan Semangat yang Tak Padam

Di masa-masa awal, Mimma juga harus menghadapi kehilangan yang menyakitkan. Nivo, manajer yang mengurus seluruh operasional, dari ojol hingga karyawan, meninggal dunia satu bulan setelah Ramenhead dibuka karena kecelakaan.

"Aku kayak sedih banget, di situ aku terpuruk banget," ia mengaku. Semua rencana terancam berantakan. Namun, dukungan dari tim dan keyakinan bahwa ia harus tetap maju untuk "ngebanggain temen aku yang udah meninggal" menjadi pemicunya.

Strategi yang Tidak Terencana dan Omzet Ratusan Juta

Titik balik datang melalui strategi yang tidak benar-benar direncanakan: media sosial dan open kitchen yang unik. "Seandainya kalau untuk strategi yang benar-benar di-planning itu tuh enggak ada, guys. Jadi emang awalnya itu dari ngundang selebgram... ternyata dia bikin konten sendiri, ternyata mereka suka, booming," jelas Mimma.

Booming ini menghasilkan fenomena waiting list dan antrian yang panjang, terutama di outlet pertamanya, Pandega. Outlet ini memang dirancang kecil, hanya berkapasitas sekitar 25 orang.

"Di bulan ketiga, bulan ketiga atau bulan keempat, kita bisa mencapai omset kita per bulan bisa mencapai 200 juta dengan kapasitas 25 orang. Itu gila banget sih, ya. Jadi langsung BP pada bulan itu juga," ungkap Mimma, menjelaskan pencapaian luar biasa itu. Omzet ini bahkan bisa menyentuh Rp200 juta hingga Rp250 juta per bulan di outlet kecil tersebut.

Faktor pendukungnya adalah kualitas yang konsisten dan kuantitas pelanggan yang banyak, terutama dari kalangan mahasiswa dan keluarga, didukung oleh harga yang terjangkau. Konsepnya adalah: datang, makan ramen, kenyang, dan pulang. Bukan tempat untuk nongkrong lama. Antrian panjang justru menjadi daya tarik, menciptakan suasana kedai ramen di Jepang yang kecil dan selalu ramai.

Mimma, Owner Ramenhead Kuliner Yogyakarta

Membedakan Diri dan Filosofi Adaptasi Rasa

Di tengah persaingan kedai ramen, Mimma menyadari Ramenhead.co harus memiliki keunikan. Ia melihat dua pembeda utama:

1. Rasa yang Diciptakan Sendiri:

Ramenhead tidak meniru rasa otentik Jepang, melainkan menciptakan resep yang disesuaikan dengan lidah Indonesia. "Rasanya enggak otentik," Mimma mengutip salah satu komentar. Namun, ia menjawabnya dengan tegas: "Kalau rasanya benar-benar Jepang banget, belum tentu kalian suka." Filosofinya adalah berjualan di Indonesia, khususnya Jogja, maka rasanya harus disesuaikan dengan orang-orang sekitar agar dapat dinikmati oleh semua kalangan.

2. Strategi Menu ala McD di Setiap Outlet:

Mimma menerapkan filosofi yang ia pelajari dari bisnis global, seperti McDonald's (McD). Ia mengamati bahwa McD di setiap negara atau wilayah seringkali memiliki menu lokal yang berbeda. "Ini tuh aku meniru bukan meniru, ya jadi kayak mempelajari bisnisnya, cara bisnisnya McD," jelasnya.

Ramenhead.co memiliki menu basic dengan tiga jenis kuah. Namun, masing-masing dari empat outlet (Pandega, Kusuma Negara, Magelang, Godean) memiliki menu unik yang hanya tersedia di cabang tersebut.

Misalnya, jika ingin ramen yang juga menawarkan sushi, pelanggan bisa datang ke cabang Magelang. Jika ingin tempat untuk nongkrong sambil makan ramen, bisa ke Kusuma Negara. Jika hanya ingin makan cepat lalu pulang (dine-in atau take-away), bisa ke Pandega atau Godean.

Strategi ini tidak hanya menciptakan keunikan tetapi juga mendorong pelanggan untuk mencoba semua cabang demi mencicipi menu-menu eksklusif.

Ekspansi, Franchise, dan Harapan ke Seluruh Indonesia

Dalam waktu yang sangat singkat, kurang dari dua tahun, Ramenhead.co telah menjelma menjadi bisnis dengan empat cabang, kantor manajemen sendiri, dan yang paling impresif, sistem franchise yang siap ditawarkan.

"Ramen head itu masih usianya sekitar satu tahun, tapi dia sudah bisa franchise, sudah bisa cabangnya kalau enggak salah sekarang sudah empat," ujar Mimma, mencerminkan pesatnya pertumbuhan bisnisnya.

Pembukaan sistem franchise ini didasari keinginan Mimma untuk berbagi peluang dengan orang lain yang memiliki modal tetapi mungkin kekurangan waktu atau kemampuan teknis untuk memulai dari nol.

Visi jangka panjang Mimma sangat ambisius: ia ingin Ramenhead hadir di seluruh Indonesia.

"Pengen banget sih aku. Pengennya Ramenhead tuh ada di seluruh Indonesia, guys. Jadi buat ini yang namanya di-franchise-in, ya buat kalian semua yang nonton, mau franchise boleh banget," promosi Mimma.

Fokus terdekatnya adalah memperluas ke kota-kota lain di Pulau Jawa, seperti Solo, Semarang, Malang, dan Surabaya. Setelah itu, ia bermimpi untuk membuka cabang di Bali dan bahkan di kota asalnya, Jambi.

Mimma, Owner Ramenhead Kuliner Yogyakarta

Penutup: Pesan untuk Generasi Penerus

Kisah Mimma dan Ramenhead.co adalah testimoni hidup bahwa kesuksesan sejati tidak diukur dari seberapa linier jalur karier Anda dengan latar belakang akademis, melainkan dari keberanian, ketekunan, dan kemampuan untuk beradaptasi. Ia memulai dengan kegagalan (tas kulit), membangun bisnis yang tidak glamor (toko bangunan), dan menemukan kesuksesan di ranah yang awalnya ia kuasai hanya berdasarkan hobi (ramen).

"Pesan-pesan buat anak muda sekarang, aku pesannya cuman kalau buat anak muda sekarang, ya, pada enggak apa-apa tahu mencoba hal baru. Gagal itu enggak apa-apa, itu proses," tutupnya.

Ia mendesak generasi muda untuk terus mencoba, belajar dari setiap kegagalan, dan yang paling penting, mengenyampingkan gengsi. Ramenhead.co membuktikan bahwa dengan resep yang tepat (baik dalam masakan maupun manajemen), insting bisnis yang kuat, dan mentalitas yang tahan banting, omzet ratusan juta bukan lagi sekadar mimpi, melainkan kenyataan yang manis—atau dalam kasus Ramenhead, kenyataan yang gurih dan kaya rasa.

Sumber : Ch.ytb. Teman Ngopi
Usia 20an Punya 4 Cabang Usaha Ramen, Pengusaha Muda ini Miliki Omzet RATUSAN JUTA Tiap Outlet !!

Komentar