Membangun Brand dari Nol dengan Kisah Nyata: Ibu Peggy dan Kekuatan Storytelling Kuliner
JAKARTA – Di era digital saat ini, di mana setiap bisnis berlomba menciptakan brand story yang kuat dan autentik sebuah niche yang sangat dipahami oleh praktisi media dan komunikasi kita sering mencari narasi yang benar-benar menginspirasi. Bagaimana sebuah brand kuliner bisa meledak di tengah persaingan ketat ibu kota tanpa modal promosi besar? Jawabannya terletak pada kekuatan kisah otentik dan ketulusan pelayanan.
Inilah kisah Ibu Peggy, seorang pengusaha wanita tangguh asal Papua, yang berhasil mengubah kecintaan pada Yogyakarta menjadi sebuah fenomena kuliner di Jakarta bernama "Pawon Sambal Kenthir". Kisahnya bukan hanya tentang menu andalan Ayam Ingkung atau pedasnya sambal 'kenthir', melainkan tentang branding yang dibangun dari pengalaman hidup yang luar biasa: mulai dari perjuangan mati-matian menjadi pramugari di maskapai bergengsi Garuda Indonesia, hingga akhirnya bertransformasi menjadi pengusaha yang menganut filosofi "learning by doing" di dunia food and beverage.
Jika Anda percaya bahwa sebuah brand yang sukses adalah perpaduan antara integritas, kerja keras, dan narasi yang jujur sebagaimana semangat yang selalu Arcomedia usung dalam setiap strategi media maka perjalanan Ibu Peggy adalah studi kasus yang sempurna. Ia membuktikan, bahwa tanpa grand opening yang mewah atau membayar food blogger mahal, storytelling yang tulus dan pengalaman pelanggan yang nyaman (hospitality kelas Garuda) adalah kunci utama.
Kisah ini diangkat dari sebuah wawancara di saluran youtube PecahTelur. Mari kita selami lebih dalam bagaimana Peggy, yang tanpa latar belakang kuliner, membangun restorannya sebuah oase Joglo di tengah kota dan mencapai omzet fantastis hingga puluhan juta per hari. Ini adalah pelajaran berharga tentang bagaimana pengalaman masa lalu dapat menjadi aset branding terbesar di masa kini.
Tekad Baja dari Tanah Papua
Peggy, seorang wanita berusia 55 tahun dengan sorot mata penuh semangat, adalah pengejawantahan dari kerja keras dan ketulusan. Berasal dari Papua, ia kini dikenal sebagai pemilik dan penggerak di balik restoran "Pawon Sambal Kenthir" di Jakarta, sebuah oase bernuansa Jawa yang ramai dikunjungi. Namun, kisah perjalanannya bukanlah garis lurus tanpa hambatan; ia adalah narasi tentang impian, kegagalan, kebangkitan, dan "belajar sambil melakukan" (learning by doing).
"Halo, perkenalkan nama saya Peggy, saya pemilik usaha restoran Pawon Sambal Kenthir," ujarnya memulai. Kecintaannya pada Yogyakarta lah yang menjadi bibit inspirasi untuk usahanya. "Suasananya tuh nyaman aja gitu. Makanan murah dan vibes-nya tuh yang orangnya itu yang ramah-ramah... di setiap jalan-jalan desa, walaupun itu juga sawah, itu jalannya halus mulus. Jadi, kalau naik sepeda tuh kayak bablas aja gitu. Makanya saya suka sekali ke Jogja," kenangnya, menjelaskan mengapa nuansa Jogja begitu kental ia bawa ke tengah hiruk-pikuk Jakarta.
Jauh sebelum berkecimpung di dunia kuliner, Peggy sudah menancapkan tonggak ambisi yang luar biasa. Impian masa kecilnya adalah menjadi pramugari Garuda Indonesia, sebuah cita-cita yang terasa mustahil bagi seorang anak dari kampung dengan keterbatasan.
"Saya selalu dari pagar [bandara], bandara itu kan restricted area... Setiap saya kalau ikut Bapak saya ke kantor, terus nanti pesawat Garuda mendarat, ada pramugari turun dari pesawat terus tarik koper, itu wah, itu imajinasi saya tuh langsung melayang-layang. Saya pengin banget jadi pramugari."
Perjuangan Meraih Bintang Garuda
Saat itu, persyaratan menjadi pramugari menuntut penguasaan bahasa Inggris yang baik, kulit mulus, cerdas, dan tinggi badan yang cukup. Tanpa kursus khusus, Peggy muda memilih jalur otodidak. "Ke mana-mana saya jalan tuh pakai kamus," ceritanya. Ia mendengarkan lagu-lagu Barat dan mencari arti setiap kata, menggunakan kaset untuk melatih pelafalan, membangun kemampuan bahasa Inggrisnya sendiri di Papua.
Tidak hanya kemampuan bahasa, ia pun berjuang melawan faktor genetika. Sadar bahwa ibu dan saudara-saudaranya bertubuh kecil, ia bertekad untuk tinggi. "Saya setiap hari itu minum susu dan setiap saya lihat apa aja yang bar yang saya bisa gantungan, jadi saya semacam pull up begitu. Saya gantungan terus dari saya kelas 1 SMA... Kebetulan juga mama saya kan agak kecil ya, dan saudara-saudara saya juga kecil, saya sendiri yang tinggi karena saya pull up."
Keyakinannya semakin memuncak ketika di Jakarta ia dites oleh Lembaga Indonesia Amerika (LIA). "Saya dites dan saya masuk di Advance, bukan lagi intermediate. Itu membuat rasa percaya diri saya semakin tinggi," ungkapnya. Itu adalah bukti bahwa upaya pribadinya membuahkan hasil.
Namun, rintangan pertama menghadang ketika melamar ke Merpati Nusantara. Di hari wawancara pertama, saat diminta menyebutkan tahun 1950 dalam bahasa Inggris, ia mendadak "Blank."
"Saya benar-benar gagap dan saya tidak bisa berkata-kata apapun. Jadi seperti orang yang sama sekali Blank, tidak bisa bahasa Inggris sama sekali dan akhirnya saya gagal... Saya waktu itu sempat kecewa sih sama Tuhan... saya bilang Tuhan, saya sudah berdoa sedemikian rupa, saya sudah belajar mati-matian, segala apapun sudah yang terbaik saya lakukan, tetapi kenapa saya gagal?"
Kekecewaan itu tak lama bersarang. Beberapa bulan kemudian, lowongan di Garuda Indonesia, maskapai flag carrier yang jauh lebih prestisius, muncul. Sempat maju-mundur karena kegagalan sebelumnya, ia akhirnya mencoba lagi berkat dorongan sang ibunda dan kakaknya: "Jangan pernah kecewa dengan sesuatu yang kamu anggap gagal, karena apa yang kamu anggap baik belum tentu itu Tuhan anggap baik. Just do it."
Keajaiban terjadi saat wawancara Garuda. Ia diminta menceritakan masa kecilnya di Papua. "Saya bercerita tuh smooth banget tanpa ada jeda sedikit pun dengan bahasa Inggris, tidak ada bahasa Indonesia sama sekali, tidak ada hambatan sedikit pun, bergetar pun tidak. Jadi saya seperti bercerita kepada teman."
Dari 600 pelamar, hanya 60 orang yang diterima, dan Peggy termasuk di dalamnya. Proses seleksi yang berat, meliputi psikotes, medical checkup, pengetahuan umum, hingga penentuan akhir oleh para direktur, berhasil ia lewati.
Peggy menjalani profesi pramugari Garuda dari tahun 1990 hingga 2001, selama kurang lebih 12 tahun. Profesi ini memberinya bekal penting: hospitality, kedisiplinan, dan kemampuan mengatasi masalah di bawah tekanan. Ia berbagi cerita tentang penanganan penumpang fobia sabuk pengaman hingga insiden penumpang stres yang mencoba membuka pintu pesawat di ketinggian.
"Orang kalau memandang seorang pramugari itu bukan hanya servis makanan. Bukan, yang terpenting adalah safety untuk penumpang itu sendiri dan penumpang itu merasa nyaman, semua safety-nya itu yang diperhatikan."
Peggy memutuskan untuk pensiun dini karena tuntutan pekerjaan suaminya yang juga seorang pilot charter flight dengan jadwal tidak teratur. Ia tak ingin kedua orang tua terus-menerus meninggalkan anak mereka. "Saya hanya berpikir, kasihan juga ya Bapaknya terbang, mamanya terbang, kan kasihan ditinggal-tinggal. Akhirnya saya resign. Begitu, saya yang mengalah."
"Learning by Doing": Membangun Kerajaan Kuliner
Setelah resign, Peggy memilih jalur bisnis yang dekat dengan dunia lamanya: hospitality dan food and beverage. Ia memulainya dengan warung kecil di dekat rumah.
"Saya hanya pengin mencoba seperti apa sih berbisnis," jelasnya. Warung kecil dengan desain unik bergaya Bali itu mendapat sambutan luar biasa. Hal ini membangkitkan rasa penasarannya yang kuat. "Saya ini orangnya suka curious gitu lho. Kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak? Jadi, belajar dari pengalaman saya waktu jadi pramugari dengan susah payah, I can do it."
Peggy tidak punya latar belakang di bidang kuliner. "Saya juga enggak punya pengalaman Mas di food and beverage, enggak ada gitu lho. Saya hanya learning by doing aja, ini benar deh," tegasnya. Baginya, kreativitas yang dianugerahkan Tuhan harus terus diolah agar tidak mati.
Pada 7 Oktober 2024, lahirlah "Pawon Sambal Kenthir". Pawon dalam bahasa Jawa berarti dapur. Sambal karena restoran ini menyajikan beragam sambal. Kenthir (gila) merujuk pada level pedas sambalnya yang "saking pedasnya, pedas banget."
Ia berani mengembangkan sendiri hampir 80% menu, termasuk minuman. Bahkan, ia kerap turun tangan langsung memasak atau meracik minuman di bar ketika terjadi kendala SDM. "Ini Show Must Go On... tamu-tamu enggak mau tahu, pokoknya Saya mau makan gitu lho... Saya harus turun tangan sendiri."
Nuansa Jogja di Jantung Jakarta
Inspirasi desain Pawon Sambal Kenthir murni dari kecintaannya pada Jogja. Ia ingin menciptakan tempat yang berbeda dari ruko atau bangunan mentereng yang mendominasi Jakarta.
"Kenapa vibes itu tidak saya bawa ke Jakarta? Karena kan hampir semua rata-rata tuh kan modelnya ruko, bangunan yang mentereng. Pasti lho, orang-orang yang rindu pulang kampung terus duduk santai-santai di Joglo sambil menikmati pohon yang rindang, minum wedang jahe, kan enak Mas. Enggak perlu jauh-jauh ke Jogja."
Lebih mengesankan lagi, Peggy mendesain sendiri seluruh restoran. "Saya enggak ada arsitek, tidak ada desain interior, jadi saya hematnya banyak," ujarnya. Semua, mulai dari tata letak, pemilihan tanaman, hingga pernak-pernik seperti padi-padi di bawah dan kelapa, ia tata sendiri, berbekal imajinasi dari seringnya berkunjung ke Jogja.
Ciri khas lain adalah ia sering mengenakan pakaian adat Nusantara. "Kadang-kadang nanti saya pakai baju NTT, nanti saya pakai baju Papua, nanti saya pakai baju Makassar, entar lagi saya pakai baju Bali. Saya suka aja," katanya, menunjukkan apresiasi yang mendalam terhadap kekayaan budaya Indonesia.
Menu Nusantara yang Menggugah Selera
Pawon Sambal Kenthir tak hanya menyajikan makanan Jawa, tetapi aneka sajian Nusantara.
- Signature Menu: Ayam Ingkung khas Jogja yang diungkep (dimasak perlahan) selama 3 jam, menggunakan ayam kampung, dan disajikan dengan areh serta daun pepaya yang diolah agar tidak pahit.
- Menu Jawa Lain: Sate Klatak, Tengkleng, Tongseng, dan Gulai Kambing.
- Menu Lain: Nasi Liwet Sunda, Paket Manado (Ayam Woku, Cakalang Rica-Rica, Kangkung Bunga Pepaya), dan yang paling mengejutkan, Papeda Kuah Kuning khas Papua.
"Yang saya agak surprise karena bukan hanya orang-orang dari timur saja yang suka makan Papeda, ternyata. Jadi, ini orang Jawa pun makan, orang Chinese pun mereka mungkin ingin mencoba," tutur Peggy. Variasi menu ini sengaja ia hadirkan agar pelanggan tidak bosan. "Orang kan nanti dia datang dia coba ayam ingkung Jawa, nanti dia datang lagi dia bisa coba yang Sunda, nanti datang lagi dia pengin coba yang Manado. Jadi, orang tuh kayak curious gitu lho."
Mengelola Bisnis dengan Hati dan Doa
Restoran ini menuai kesuksesan yang tak terduga. Omzet harian bisa mencapai Rp 55 juta per hari saat akhir pekan, dan sekitar Rp 38-40 juta di hari biasa. Uniknya, kesuksesan ini diraih tanpa Grand Opening atau biaya promosi besar. "Saya hanya buka pagar aja, orang masuk silakan, saya layani," ungkap Peggy.
"Orang-orang yang datang makan ke sini, Saya tuh tidak tahu, itu ternyata mereka tuh ada yang produser TV gitu yang lagi makan di sini, terus tiba-tiba pengin ketemu owner... Saya tidak pernah bilang panggil orang, Mas, kamu ini, atau bayar food blogger kek, apa kek, gitu, enggak. Jadi, beberapa stasiun [TV] saya sudah ada sekitar lima stasiun TV yang meliput kita di sini... Dan saya tidak membayar apapun. Jadi kayaknya dia mungkin mengalir aja seperti air gitu." Peggy percaya bahwa rezeki adalah anugerah yang mengalir karena ketulusan usahanya.
Dalam hal manajemen SDM, ia menghadapi tantangan klasik anak muda (Gen Stroberi), tetapi ia punya prinsip kuat. "Saya selalu berdoa sama Tuhan bahwa saya minta diberikan orang-orang yang baik, yang satu frekuensi, yang mau bekerja sama dengan kita," katanya. Ia percaya pada seleksi alam dan prinsip bahwa Tuhan akan mengirimkan pengganti yang lebih baik.
"Saya selalu bilang bahwa Show Must Go On. Ada kamu tidak ada kamu, ya ini kan tanggung jawab saya. Kenapa? Karena ini sudah Tuhan titipkan di tangan saya," filosofinya. Prinsip lainnya: "We owners Of Nothing but we Steward of everything."
Ia juga pernah menghadapi pengalaman pahit ketika manajernya keluar dan membawa semua tim inti. Namun, di saat kritis, pertolongan datang dari jaringan pertemanannya. "Saya telepon teman gitu, dan teman saya juga sama-sama kita punya resto dan dia backup saya... That's What Friend Are For itu benar banget. Kita semakin banyak teman, kita semakin saling memberi, saling memberkati."
Fokus pada Proses, Bukan Masalah
Peggy selalu menekankan pentingnya integritas dan disiplin, nilai-nilai yang ditanamkan kuat oleh sang ayah. Kehilangan ayahnya menjadi momen terberat dalam hidup, tetapi dorongan semangat ayahnya selalu menjadi kekuatannya: "Di mana-mana juga mau apa juga, kalau memang Tuhan sudah berkehendak, mau duduk juga bisa mati. Jadi Papa saya benar-benar yang encourage me untuk jadi... apa yang memang kamu mau, you just do it."
Pencapaian terbesarnya (achievement) adalah membangun Pawon Sambal Kenthir hingga sebesar sekarang, dari perjuangan yang naik turun.
"Don't focus on the problem but focus on the process," adalah mantra yang ia pegang teguh. "Setiap proses yang kita alami ini, kalau saya pribadi, kalau saya mundur lagi ke belakang, proses-proses yang semua di kita alami ini dinikmati aja."
Ia percaya, setelah hujan, pasti ada pelangi. Semua masalah akan mendatangkan kebaikan yang bisa diceritakan untuk menginspirasi orang lain.
Kini, impian Peggy yang sederhana adalah melihat bisnisnya stabil dan kemudian membuka cabang restoran di Papua. Ia ingin membawa nuansa Jawa ini kembali ke kampung halamannya, khususnya untuk melayani banyak perantau dari Jawa yang kini bekerja sebagai ASN, tentara, atau polisi di sana. Ia yakin, "pasti ramai banget."
Filosofi hidup Peggy adalah menempatkan diri di posisi pelanggan. Ia menggunakan pengalamannya sebagai pramugari, di mana hospitality dan kenyamanan menjadi hal utama. "Saya juga orangnya suka kuliner dan saya suka di tempat-tempat yang bagus gitu, yang nyaman kita duduk juga tenang gitu. Jadi saya menempatkan diri saya kepada orang lain gitu. Kalau saya aja senang digituin, kenapa orang lain juga masa sih enggak mau digituin."
Ibu Peggy adalah contoh nyata bahwa latar belakang tidak menentukan hasil akhir. Dengan semangat otodidak, tekad baja, ketulusan melayani, dan keyakinan kuat bahwa setiap proses adalah pelajaran, ia telah membuktikan bahwa seorang mantan pramugari dari Papua mampu membangun sebuah restoran Nusantara yang sukses dan menjadi inspirasi bagi banyak orang.
Sumber : Ch.ytb. PecahTelur
Tanpa Pengalaman, Mantan Pramugari Sukses Raup Omzet 55 Jt Sehari Dari Usaha Kuliner Tradisional!
0 Komentar