Kisah Inspiratif Dr Reza Abdul-Jabbar Membangun Bisnis Peternakan Sapi Perah di Selandia Baru

Dr. Reza Abdul-Jabbar

Di tengah deru pembangunan dan gempita modernisasi, seringkali kita lupa akan akar sejati sebuah bangsa: pertanian dan ketahanan pangan. Namun, kisah seorang putra bangsa, Dr. Reza Abdul-Jabbar, justru membuktikan bahwa sektor pertanian, khususnya peternakan, dapat menjadi jalan menuju kesuksesan besar, bahkan di negeri orang. Dari Pontianak ke Selandia Baru, Dr. Reza membangun kerajaan sapi perah yang kini menghasilkan ribuan liter susu setiap harinya, mengukir namanya sebagai diaspora Indonesia yang patut dibanggakan.

Percakapan kami dengan Dr. Reza dimulai dengan hal yang cukup teknis, mengenai asam folat dan asam sulfat. "Folic acid itu kan tambahan, biasanya digunakan oleh ibu-ibu yang merancang kehamilan," jelas Dr. Reza santai, menegaskan perbedaan antara nutrisi penting itu dengan asam sulfat (sulfuric acid) yang berbahaya dan hanya digunakan untuk membersihkan tangki susu. Perbincangan singkat ini langsung menunjukkan kedalaman pengetahuannya di bidang peternakan.

Meluruskan Fakta dan Membangun Impian

Pertemuan dengan Dr. Reza adalah sebuah kehormatan. Ia adalah sosok yang rendah hati namun penuh wawasan, seorang "Abang Perumrohan" yang tak disangka-sangka kini dikenal sebagai peternak raksasa di Selandia Baru. Berita-berita media seringkali menyoroti pencapaiannya, namun Dr. Reza perlu meluruskan beberapa data. "Kalau bicara data sapi ini ya, Subhanallah, kita beragam. Yang data bilang 2.500, 20.000 juga ada, tapi kagak benar kan begitu. Alhamdulillah, atas izin Allah hari ini kita di kisaran 4.500 sampai 5.000, dan kita bicara di sapi perah," ungkapnya. Lahan seluas kurang lebih 1.000 hektar menjadi saksi bisu perjalanan luar biasa ini.

Angka 2.500 sapi yang sering disebut media ternyata "kurang". Bahkan dengan 4.500 hingga 5.000 sapi, Dr. Reza menjelaskan bahwa jumlah ini dinamis dan selalu bergerak karena proses kelahiran setiap tahunnya. "Kita enggak mau lebih banyak lagi, bukan enggak mau lebih banyak rezeki dari Allah, tapi kalau dia nambah banyak banget berarti lahannya juga mesti nambah, kan gitu. Mesti beli lagi," jelasnya. Ini bukan hanya tentang modal, tetapi juga tentang kapasitas untuk mengelola. "Beli satu hal, tapi kita juga harus bisa ngurus, kan begitu," tegasnya, menyoroti pentingnya manajemen di tengah berbagai urusan lain yang juga ia tangani, termasuk keluarga, dakwah, dan urusan umat.


Dr. Reza Abdul-Jabbar 1

Visi Seorang Ayah dan Cita-Cita Seorang Anak

Kisah Dr. Reza bukan dimulai dari bisnis yang megah, melainkan dari sebuah impian masa kecil. "Ana datang ke New Zealand umur 16 tahun," kenangnya. "Ana memang punya keinginan pengin jadi petani. Dari umur 8 tahun." Keinginan ini tidak tumbuh begitu saja, melainkan dipupuk oleh sosok ayah yang luar biasa, seorang visioner yang percaya pada anaknya.

"Ini erat kaitannya dengan kita punya Ayah, rahimahullah. Seseorang yang punya visi dan benar-benar bahasa kita tuh gini ya, seorang ayah that is very strong in his sense of direction and sense of confidence," tuturnya. Sang ayah menanamkan nilai-nilai tauhid dan tijarah (perniagaan) secara bersamaan. "Kalau kita mau dagang, rasa kepercayaan diri, yakin, punya sense of directions, enggak pernah give up, selalu berusaha, itu kan penting. Itu Ayah kita yang ngasih." Dr. Reza menekankan, "There is no university like in father." Ia membandingkan ibunda sebagai 'madrasatul ula' (madrasah utama) dalam pendidikan dasar, namun ayah adalah sosok yang membentuk kepemimpinan dan arah hidup.

Ketika berusia delapan tahun, ayahnya bertanya, "Nak, gede pengin kenapa?" Dr. Reza menjawab, "Pengin dagang." Ayahnya menanggapi dengan bijak, "Kalau dagang, setiap hari itu Senin, Nak. Everyday is a Monday." Ini adalah filosofi yang penting bagi seorang pedagang sejati: siap kurang tidur, kurang libur, dan kurang waktu bersama keluarga.

Sang ayah juga memberikan nasihat revolusioner: "Jangan sekolah yang semua orang sekolah." Ia mendorong Dr. Reza untuk menjadi berbeda, untuk memimpin. "Lead the pack... Salmon itu enggak pernah berenang melawan arus. Yang berenang dengan arus siapa? Sampah." Sebuah analogi yang tajam dan menggugah, mengajarkan pentingnya menjadi pionir dan tidak terbawa arus. Ayahnya mendukung minatnya pada pertanian dan binatang, mengarahkan Dr. Reza untuk sekolah di bidang yang ia sukai, namun tetap memiliki nilai ekonomis. "Kalau kita passionate, ketika dia susah kita masih biasa, kan gitu, karena we love it. Tapi kita juga harus paham apapun yang kita lakukan mesti ada hari susahnya, kan enggak mungkin harinya senang semua."

Baca Juga : Revolusi Bisnis Peternakan Ayam Kisah Asyap Alkafi dan Chiikin

Restu Orang Tua: Kunci Pembuka Pintu Rezeki

Keputusan untuk berinvestasi dan mengembangkan peternakan seringkali melibatkan perhitungan rumit dan risiko besar. Namun, bagi Dr. Reza, ada elemen lain yang jauh lebih kuat dari sekadar perhitungan matematis: restu orang tua.

"Resep dagang tuh gini, kalau udah Ayah kita, Ibu kita rida sama kita, senang sama kita, ya udah deh gitu lho. Itu udah pasti absolute greatness," ujarnya. Ia menceritakan bagaimana setiap kali ada keputusan besar, seperti membeli lahan, ia akan menelepon ayahnya. "Ayah ana cuma menjawab gini doang, 'Iya, kasih Ayah dua tiga hari ya, insyaallah Ayah akan istikharah ya, akan salat sebentar dengan Ibu, dengan ibumu. Dua tiga hari Ayah telepon ya, tunggu aja.' Lalu telepon balik, 'Assalamualaikum. Waalaikumsalam. Gimana? Ya udah. Bismillah, langkahi itu aja.' Itu aja udah benar."

Dr. Reza mengakui bahwa restu orang tua mampu menghilangkan kegalauan dan keraguan. Ia memberikan contoh saat ingin membeli lahan 80 hektar, namun pemilik hanya mau menjual 80 hektar beserta lahan tambahan 70 hektar yang sebenarnya tidak ia butuhkan. Keraguan muncul karena biaya operasional dan perawatan akan bertambah. Namun, ayahnya berkata, "Enggak apa-apa, Nak. Insyaallah beli aja dua-duanya. Tapi kita kagak tahu mesti ngapain yang sisanya itu." Ayahnya menekankan, "Dia kan butuhnya jual semua. Masa kita mikirin kita cuma mau yang kita [butuhkan]? Dia gimana? Nanti ada aja tuh nanti ada aja keperluannya tuh Insyaallah."

Yang mengejutkan, lahan tambahan 70 hektar itu ternyata adalah area yang kaya akan madu Manuka, salah satu madu terbaik di dunia. "Orang enggak berpikir bahwa itu adalah lahan yang bisa digunakan buat itu. Setiap orang ingin merubah dia menjadi padang rumput. Terapi gimana? Kan itu kan kos, sehingga Ana juga takut gitu kan, wah ini ongkos, ini duit nih." Namun, lahan tersebut justru menghasilkan sekitar 20 ton Manuka honey dengan grade terbaik. "Ini enggak ada logikanya nih. Tadi kita takut-takut, kita harus buang duit, kan gitu. Beban jadi makin besar perawatannya. Iya barang-barang gini, gimana jelasannya kalau kita bicara cuma pure basis atau pure math? Terkadang matematika enggak bisa juga dipakai 100%," Dr. Reza menyimpulkan, menyoroti kekuatan takdir dan restu ilahi melalui orang tua.

Dr. Reza Abdul-Jabbar

Ilmu Sebelum Amal: Belajar dari Bawah

Prinsip "al-ilmu qoblal qouli wal amal" (ilmu sebelum berkata dan beramal) adalah pegangan Dr. Reza. Ia tidak langsung membeli semua lahan dan sapi sekaligus. "Kita kan enggak langsung beli semua, Der. Satu-satu. Bukan satu-satu lagi, beli satu sapi, 10 sapi, 20 sapi, kan begitu."

Perjalanan dimulai dari nol, dari bekerja dengan orang lain. "Kerja sama orang dulu dong, jadi anak buah dulu ya kan, tetap belajarnya di situ ya. Pasti dong. Sesuatu yang dikasihkan gratis dengan percuma, enggak ada nilainya kan." Proses ini mengajarkan nilai dari setiap langkah, setiap investasi, dan setiap kerja keras. "Belajar pelan-pelan. Allah kasih kemudahan kita beli sekian, kita beli anaknya diizinkan besar, anaknya kemudian punya harga yang baik, kita bekerja jadi anak buah, naik pangkat dikit lagi, naik pangkat dikit lagi, terus kemudian kita jadi manajer. Kita punya sedikit penghasilan, sebagian kita mulai simpan."

Fokus utama bisnis Dr. Reza adalah susu sapi perah (dairy). "Cor-nya susu kita, dairy." New Zealand sendiri adalah raksasa dalam industri susu global. "100% dari yang dihasilkan New Zealand dalam bentuk dairy product itu cuma dimakan secara domestik 4%. Jadi 96% dari dairy produksi yang dihasilkan New Zealand itu diekspor." Ini menjadikan Selandia Baru sebagai "penjual terbesar di dalam world market," meskipun bukan "penghasil terbesar" seperti India yang sapinya ratusan juta namun sebagian besar dikonsumsi domestik. "We feed the world," tegas Dr. Reza dengan bangga.

Koperasi Petani: Model Bisnis yang Tak Terkalahkan

Model bisnis peternakan di Selandia Baru juga menjadi kunci kesuksesan. "Bedanya New Zealand, pemainnya bukan konglomerat. Pemainnya adalah owner operator," jelas Dr. Reza. "Kami bukan pengusaha pertanian, kami petani pengusaha." Ini berarti para peternak adalah praktisi lapangan yang memiliki bisnisnya sendiri, bukan sekadar investor. "Kalau petani pengusaha pasti punya kemampuan kan, pasti bisa berternak, praktisi soalnya."

Yang lebih menarik lagi, perusahaan terbesar di Selandia Baru, Fonterra, adalah sebuah koperasi. "Fonterra itu adalah perusahaan terbesar di New Zealand by revenue gitu ya, dengan 9.000 sekian shareholder, maknanya kita semua para petani-peternak punya saham di situ." Seluruh rantai produksi, dari tanker, pabrik, hingga pemasaran di hampir 200 negara, dimiliki oleh para petani. Bahkan direktur Fonterra haruslah seorang petani-peternak. "Konsep begini enggak akan mungkin bisa dikorupsi, enggak akan ada orang bisa buang duit bakar duit dia ke IPO, dia beli kita gitu ya, kemudian kita habis, enggak bisa. Karena kita enggak jual." Tidak ada selembar saham Fonterra pun yang bisa dibeli oleh non-petani-peternak, menjamin kontrol tetap di tangan para produsen.

Aset berupa tanah ini juga memiliki keunggulan, tidak seperti investasi bangunan yang mengalami depresiasi. "Enggak ada yang ada apresiasi dong. Makanya tanah enggak mungkin didepresiasi." Di Selandia Baru, para petani tidak hanya memiliki hak guna usaha (HGU), tetapi sertifikat hak milik. "Kita beli sertifikat hak milik... enggak ada batasan, siapapun yang mau beli mau beli lebih silakan." Ini memberikan keamanan dan mendorong investasi jangka panjang.

Dr. Reza Abdul-Jabbar

Ketahanan Pangan dan Tantangan di Indonesia

Melihat kesuksesan di Selandia Baru, timbul pertanyaan: bisakah Indonesia mencontoh model ini? Dr. Reza tidak mengatakan tidak bisa. "Semuanya itu mungkin," ujarnya, namun dengan beberapa catatan. "Regulasi yang cukup berpihak buat petani dan peternak... adanya goodwill dari pemerintah untuk benar-benar menyokong industri ini, karena ini kan industri yang sangat vital."

Ia menegaskan, "Sebuah negara sebenarnya sejatinya enggak bisa kita katakan berdaulat merdeka kalau dia tidak berdaulat secara pangan." Banyak negara maju hanya memiliki stok pangan 20 hari, sementara negara berkembang bahkan kurang dari itu. Ini menjadi pelajaran penting, terutama di tengah ancaman krisis pangan dan fenomena El Nino yang disebut oleh Menteri Keuangan.

Yang menarik, Dr. Reza menyoroti ironi terkait pupuk. "Sebagian pupuk itu di New Zealand datang dari Indonesia." Namun di Indonesia, petani justru kesulitan mendapatkan pupuk. Dr. Reza menjelaskan bahwa tanah Indonesia sangat subur, dengan banyak tanaman seperti nangka, pisang, dan rambutan yang tumbuh liar, menunjukkan cadangan nutrisi yang melimpah. "Tapi kesalahan kita adalah, kalau kita ambil terus dipanen terus buahnya dan enggak diganti itu pupuk, akan terjadi depletion. We are depleting the soil." Akar tanaman menyerap nutrisi, dan jika tidak diganti, tanah akan kehilangan kesuburannya.

Menolak Subsidi dan Memuliakan Petani

Dr. Reza memiliki pandangan tegas mengenai subsidi. "Ana bukan orang yang setuju dengan subsidi. Ini mohon maaf, ini posisi penting ya." Ia meyakini bahwa subsidi justru melemahkan petani. "Dunia global ini kita harus mampu bersaing dengan antar negara-negara lain. Negara yang disubsidi membuat petani, peternak, atau produsen jadi lemah." Sesuatu yang diberikan gratis terkadang tidak dihargai, berbeda jika harus dibeli dengan harga tertentu. "Kalau kita harus beli pupuk, harus bayar sekian, sekian rupiah, tentu kita akan jaga jangan kehujanan, kita akan kasih pada saat yang tepat."

Ia juga menyoroti mentalitas "gratisan" yang bisa berdampak buruk pada kualitas. Pupuk, sebagai nutrien penting, harus dijaga kualitasnya dan diberikan pada waktu yang tepat. Dr. Reza memberi contoh tentang pepaya yang harga jualnya di tangan konsumen Rp10.000, namun petani hanya mendapatkan Rp3.000 setelah melalui tengkulak dan pengecer. "Rp3.000 itu harga yang sangat murah. Prihatinan. Karena Rp3.000 itu enggak mungkin seorang petani bisa menghasilkan buah sebagus itu cuma dapat Rp3.000. Enggak akan mungkin."

Ini adalah inti masalahnya: bagaimana kita memuliakan petani? Jika pendapatan mereka sangat rendah, motivasi untuk berinvestasi pada kualitas dan manajemen yang baik akan berkurang. Masalah seperti gudang penyimpanan yang terbengkalai atau pupuk yang tidak dijaga kualitasnya seringkali berakar pada sistem yang tidak memuliakan para petani.

Kisah Dr. Reza Abdul-Jabbar adalah panggilan untuk refleksi. Ini bukan hanya tentang membangun peternakan besar, tetapi tentang visi jangka panjang, pentingnya restu orang tua, kerja keras yang didasari ilmu, model bisnis yang adil, dan yang terpenting, bagaimana sebuah negara dapat mencapai kedaulatan pangan dengan memuliakan para petaninya. Dari tanah Selandia Baru, Dr. Reza menunjukkan bahwa mimpi seorang anak delapan tahun bisa menjadi kenyataan, dan bahkan bisa menjadi inspirasi bagi sebuah bangsa.

Sumber : Ch. Ytb : KASISOLUSIPUNYA LAHAN 1.000 HEKTAR + 5RB SAPI DI NEW ZEALAND, KISAH PETERNAK KAYA ASAL INDONESIA DISANA 

Posting Komentar

0 Komentar