Pengusaha Muda Madiun Wahyu Lestari: Inovasi Sambal Pecel Bu Pariyem, Raih Omzet Puluhan Juta
Kisah Inspiratif Wahyu Lestari, Madiun Mendunia Lewat Sambal Pecel Bu Pariyem
Di tengah gemerlap ribuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang menjadikan Madiun sebagai "Kota Pecel" yang sesungguhnya, sebuah nama mencuat dengan strategi yang berani dan inovasi yang segar: Sambal Pecel Bu Pariyem. Di balik kesuksesannya, berdiri tegak seorang pengusaha muda, Wahyu Lestari (30), yang mengubah resep legendaris sang ibunda dari sekadar pelengkap sarapan menjadi komoditas oleh-oleh modern berkelas.
Kisah ini bukan hanya tentang bagaimana bumbu kacang bisa bertahan lama, melainkan tentang kegigihan seorang anak tunggal dalam memuliakan warisan orang tua, membongkar mitos 'bangun pagi rezeki banyak', dan menancapkan cita-cita membawa cita rasa lokal ke panggung internasional. Kisah ini telah diceritakan pada saluran youtube PecahTelur judul: Bisa Beli Rumah di Usia 24 Tahun dari Jualan Sambal Pecel.
Melanjutkan Estafet Rasa: Dari Lapak Sederhana ke Produk Instan Berkelas
Sambal Pecel Bu Pariyem bukanlah nama yang asing di telinga warga Madiun. Jauh sebelum menjadi merek dagang terdaftar, nama itu melekat pada sosok ibu Wahyu Lestari, Bu Pariyem, yang berjuang menghidupi keluarga dengan berjualan nasi pecel.
“Ibu jualan pecel itu dari saya kelas 1 SD, Mas. Sekitar tahun 2005-an,” kenang Wahyu Lestari saat ditemui di rumah sekaligus kantornya. Usaha itu telah menjadi denyut nadi keluarga selama bertahun-tahun.
Namun, seperti lazimnya usaha kuliner tradisional, nasi pecel memiliki keterbatasan. Ia identik dengan menu sarapan, tidak tahan lama, dan sulit dibawa sebagai oleh-oleh jarak jauh.
Setelah menamatkan sekolah, Wahyu Lestari, sang pemilik nama lengkap di balik perusahaan Lestari Abadi, memiliki visi yang lebih besar. Ia tidak ingin sekadar meneruskan warisan, melainkan mentransformasinya.
“Setelah saya tumbuh dewasa, setelah saya lulus sekolah, saya ingin melanjutkan sambal pecel ibu, tapi dalam bentuk yang lebih eye catching, lebih instan, dan bisa mendunia. Karena seperti logonya Kota Madiun: mendunia,” tegasnya.
Pada tahun 2015, resmi lah Sambal Pecel Bu Pariyem berdiri sebagai merek dagang. Namun, berbeda dari pendahulunya, produk ini hadir dalam kemasan yang elegan, modern, dan paling penting: tahan lama.
Saat ini, Bu Pariyem telah "purna tugas" dan menikmati waktunya bersama cucu-cucu, berkat Wahyu yang kini mengambil alih penuh kendali produksi.
Inovasi Melawan Mitos: Ketika Bangun Siang Tidak Sama dengan Malas
Langkah awal Wahyu merombak bisnis ibunya didasari oleh realitas dan preferensi pribadinya, yang sekaligus menjadi inovasi kunci.“Kenapa enggak di-klin (dijadikan nasi pecel) Bu? Karena kalau jualan nasi pecel itu identiknya kan untuk sarapan ya Mas, sedangkan kalau bangun pagi, saya jujur enggak bisa bangun pagi,” ungkap Wahyu jujur, seraya tersenyum.
Inilah titik balik pentingnya: Nasi pecel (yang sudah bercampur bumbu dan sayur) hanya bisa bertahan sebentar. Ia harus segera dimakan agar tidak menyek (lembek).Wahyu kemudian berpikir: “Kenapa tidak jualan bumbu pecel saja yang bisa dibawa ke mana-mana dan bisa untuk oleh-oleh? Dan jangkanya lebih panjang, lebih tahan lama.”
Ia pun berinovasi mengubah resep bumbu pecel basah ibunya menjadi sambal pecel kering yang memiliki daya tahan hingga 3-4 bulan di suhu ruang dan 6 bulan di lemari es tanpa bahan pengawet. “Tidak bisa bangun pagi itu adalah orang malas, itu bagi saya keliru. Sekarang kan enggak seperti itu, Mas. Yang bangun siang itu malah itu influencer, YouTuber, itu bangunnya siang-siang juga uangnya banyak-banyak.”
Wahyu Lestari, menepis mitos lama.
Wahyu menjelaskan bahwa disiplin dan tanggung jawab dalam bekerja jauh lebih penting daripada jam bangun pagi. Ia dan timnya justru bekerja hingga larut malam untuk persiapan produksi keesokan harinya, sehingga mereka tetap bisa menjalankan bisnis secara santai meskipun baru bangun siang. "Mungkin di saat teman-teman semua pada tidur, kita masih persiapan untuk besok," ujarnya.
Rahasia Dapur yang Mendunia: Sehat, Higienis, dan Bebas Minyak
Wahyu Lestari sangat menjaga kualitas produknya, karena ia sadar bahwa kunci persaingan di pasar oleh-oleh adalah kepercayaan konsumen. Sambal Pecel Bu Pariyem memiliki beberapa keunggulan utama yang diklaim sebagai pembeda:
- Tanpa Bahan Pengawet Buatan: Ketahanan lama dicapai secara alami, karena bahan-bahan seperti asam, gula, dan garam berfungsi sebagai pengawet alami.
- Kacang Oven & Murni: Menggunakan kacang Tuban yang terkenal lebih gurih. Kacang diproses dengan cara dioven, bukan digoreng, dan tanpa kulit, menjadikannya murni (ngepure) dan tidak berminyak.
- Proses Produksi Terstandar: Setelah kacang dioven dan dikuliti, dicampur dengan bumbu-bumbu kering (bawang putih, daun jeruk, cabai merah, asam jawa) dan gula merah/putih serta garam. Setelah digiling, sambal diangin-anginkan agar dingin sebelum dikemas.
“Sambal pecel saya itu bisa bertahan 3 sampai 4 bulan di suhu ruang… tanpa bahan pengawet, Mas. Karena notabene itu asem, gula, dan garam itu adalah pengawet alami,” kata Wahyu. Inovasi resep ini menjadikan Sambal Pecel Bu Pariyem dinilai lebih sehat. Hal ini dibuktikan dengan adanya uji nutrisi dari Bogor.
Benteng Kepercayaan Konsumen: Pentingnya Legalitas dan Perizinan
Di era informasi, konsumen semakin cerdas. Mereka tidak hanya mencari rasa yang enak, tetapi juga keamanan dan legalitas produk yang dikonsumsi. Wahyu Lestari menyadari penuh hal ini, terutama karena ia bercita-cita membawa Sambal Pecel Bu Pariyem ke pasar yang lebih luas, bahkan internasional.
“Kebetulan customer saya itu kebanyakan dari luar-luar kota. Dan zaman sekarang itu pembeli lebih cerdas, Mas. Mereka pasti akan lebih melihat secara detail untuk komposisi bahan-bahan, untuk persyaratannya seperti izin BPOM, Halal,” jelas Wahyu.
Sejak awal, Wahyu telah berinisiatif melengkapi semua perizinan yang dibutuhkan. Tidak hanya BPOM dan sertifikasi Halal, tetapi juga Hak Kekayaan Intelektual (HKI) untuk merek Bu Pariyem. Keputusan ini bukanlah suatu syarat wajib hanya untuk berjualan di Madiun, melainkan bagian dari visi jangka panjangnya.
“Sebenarnya kalau syarat tertentu enggak sih, Mas. Cuman itu dari saya pribadi karena saya penginnya itu sambal pecel saya benar-benar mendunia, tidak hanya jago kandang. Kalau jago kandang, mungkin kita tidak perlu perizinan seperti itu.”
Ia memandang perizinan sebagai prepare (persiapan) sejak awal. Ketika produk akan memasuki rantai distribusi modern, seperti swalayan, atau menembus pasar ekspor, kelengkapan legalitas adalah harga mati. "Agar orang semakin percaya bahwa sambal saya ini memang benar sambal-sambal yang bisa mendunia," tambahnya.
Taktik Bertarung di 'Lautan Merah' UMKM Madiun
Madiun, sebagai pusatnya sambal pecel, memiliki persaingan yang sangat ketat. Diperkirakan ada lebih dari 2000 UMKM yang bergerak di bidang ini. Wahyu Lestari, yang berusia 30 tahun, termasuk pengusaha termuda di segmen ini, di mana mayoritas produsennya berusia di atas 40 tahun. Keunggulan usia ini ia manfaatkan dengan maksimal dalam strategi pemasaran.
“Kalau masalah rasa itu masing-masing berbeda ya, Mas ya. Setiap orang punya kesukaan sendiri-sendiri. Cuman kalau cara saya bersaing adalah saya kemasannya lebih menarik, iklan saya juga lebih gencar,” ungkapnya.
Sementara mayoritas produsen sepuh masih mengandalkan pemasaran konvensional, Wahyu melancarkan serangan pemasaran digital melalui platform seperti TikTok dan Instagram. Selain itu, ia proaktif dalam membangun jaringan distribusi offline:
- Lobi Swalayan dan Supermarket: Memastikan Sambal Pecel Bu Pariyem hadir di rak-rak modern, bukan hanya di pasar tradisional.
- Toko Oleh-Oleh: Memosisikan produknya sebagai oleh-oleh khas premium.
- Ekspansi Luar Kota: Sambal Pecel Bu Pariyem kini sudah dilirik dan didistribusikan hingga ke Jakarta (oleh Waskita Grup), Surabaya, dan Malang.
Wahyu juga aktif mengikuti program pembinaan dan misi dagang, seperti yang difasilitasi oleh Bank Jatim ke Lampung dan Lombok. Keikutsertaan ini menghasilkan pelanggan dan jaringan baru. "Saya juga dapat customer baru, saya juga nyetok-nyetok ke sana juga," katanya bangga.
Strategi multi-channel (online, swalayan, toko oleh-oleh) inilah yang membuat Bu Pariyem mampu bersaing ketat dan memastikan perputaran produknya cepat. "Dua minggu sekali, tiga minggu sekali, sudah out, sudah habis," ujarnya, terutama saat musim liburan panjang seperti Lebaran.
Dukungan Perbankan dan Memutar Roda Bisnis
Memulai dengan modal seadanya, Wahyu sadar bahwa pengembangan usaha membutuhkan suntikan dana dan peralatan yang memadai.
“Modalnya itu saya awalnya itu hanya punya mesin biasa. Setelah saya kenal Bank Jatim, saya kredit ke Bank Jatim. Alhamdulillah saya dipercaya Bank Jatim, saya bisa ambil kredit, saya bisa beli mesin-mesin yang lebih bagus lagi,” tuturnya. Dukungan finansial ini memungkinkan Sambal Pecel Bu Pariyem untuk beralih dari produksi manual ke mesin, yang secara signifikan meningkatkan kapasitas dan efisiensi.
Bahkan, kerja keras dan inovasi Wahyu diapresiasi dalam ajang bergengsi. “Kebetulan saya juga ikut lomba UMKM Award dan kemarin saya dapat juara dua dan saya dapat uang binaan sebesar Rp 10 juta dari Bank Jatim,” kata Wahyu. Dana ini langsung ia gunakan untuk membeli alat-alat yang lebih canggih.
Wahyu mengakui, perputaran uang di usahanya saat ini berkisar antara Rp 40 juta hingga Rp 45 juta per bulan. Angka ini cukup besar, meskipun ia menyebutnya "masih standar" jika dibandingkan dengan depot pecel legendaris yang penjualannya langsung cash harian.
“Perputarannya uang itu bisa sampai 40 sampai 45 juta per bulan. Jadi kalau dibilang banyak itu ya banyak. Kalau dibilang gimana ya, masih standar ya, masih standar lah.”
Ia menjelaskan, karena distribusinya banyak melalui toko oleh-oleh dan swalayan, sistem pembayaran masih menggunakan tempo atau ada piutang, berbeda dengan Depot yang langsung mendapatkan pemasukan harian. Namun, hal ini tidak menjadi kendala berarti.
Produksi Efisien dan Tantangan Klasik: SDM
Untuk memenuhi permintaan yang tinggi, Sambal Pecel Bu Pariyem menjalankan produksi tiga kali seminggu, dengan volume 30 kg per sekali produksi.
Dengan memanfaatkan mesin untuk proses utama (menggiling dan mengaduk), proses produksi menjadi sangat efisien, sehingga Wahyu hanya membutuhkan dua orang karyawan untuk membantu dalam proses packing dan penimbangan. Namun, tantangan terbesar yang dihadapi Wahyu bukanlah bahan baku atau perizinan, melainkan Sumber Daya Manusia (SDM).
“Sebenarnya tantangannya itu hanya di SDM, Mas. Kalau untuk bahan baku itu gampang, maksudnya ini kan bahan-bahan yang biasa ya, yang di mana-mana gampang kita nyarinya. Supplier-nya juga banyak,” ungkapnya.
Keterbatasan SDM ini menjadi hambatan utama dalam mengembangkan kanal penjualan online yang lebih interaktif, seperti Live di TikTok atau Shopee, yang saat ini merupakan salah satu mesin pertumbuhan bisnis digital paling cepat.
“Untuk mulai online, untuk mulai seperti live di TikTok atau di Shopee seperti itu, masih terkendala dengan SDM saya, Mas,” keluh Wahyu, yang menunjukkan bahwa bisnisnya masih memiliki potensi besar yang belum tergarap maksimal.
Bukti Kemandirian: Membeli Rumah di Usia 24 Tahun
Di balik kesibukan mengurus izin, pemasaran digital, dan produksi, ada satu pencapaian personal yang paling dibanggakan Wahyu Lestari: kemandirian finansial yang dicapai di usia yang sangat muda.
“Bangga enggak Bu?” tanya pewawancara.
“Bangga, Mas, karena saya bisa beli rumah di usia 24 tahun. Di usia 24 tahun,” jawab Wahyu dengan mata berbinar. Rumah sekaligus tempat produksi yang ia beli tersebut didapatkan pada tahun 2018.
Pencapaian ini menjadi penanda kesuksesan yang sangat personal, terutama mengingat latar belakang keluarganya. Wahyu adalah anak tunggal, dan orang tuanya bukan pegawai negeri dengan pensiunan, melainkan wiraswasta, penjual nasi pecel.
“Saya merasa bangga, karena saya anak tunggal yang orang tua saya juga bukan pegawai, orang tua saya juga tidak punyai pensiunan, bahkan hanya penjual nasi pecel. Tapi punya anak mandiri yang sudah bisa beli gubuk sendiri, walaupun harga murah,” tegasnya.
Ia membandingkan pencapaiannya dengan banyak profesional lain yang bergaji besar namun masih terikat kontrak rumah. Baginya, memiliki "gubuk sendiri" adalah pencapaian luar biasa. Inspirasi terbesar dalam berwirausaha pun datang dari sang ibu. Bukan hanya resepnya, tetapi juga etos kerjanya.
“Kalau memang yang saya tiru adalah ibu, karena Ibu taktik sekali orangnya,” kata Wahyu. Disiplin yang ia maksud bukanlah disiplin bangun pagi, melainkan disiplin dalam memegang komitmen, on time saat janji, dan memiliki tanggung jawab penuh terhadap pekerjaan.
Filosofi ini dipegang teguh: yang penting jalan dulu.
“Kita kalau sudah terjun di dunia bisnis, Mas, kalau walaupun kita punya niatan, ‘wis sing penting melaku dulu’ (yang penting berjalan dulu). Nanti urusan kita berjalan beriringan. Lama-kelamaan mau tidak mau, ya pasti kita bisa ngikutin,” pesannya.
Dari 'Lestari Abadi' ke 'Bu Pariyem': Kekuatan Nama Legend
Perjalanan merek dagang Wahyu ternyata tidak mulus. Sebelum menggunakan nama sang ibu, ia sempat menggunakan nama perusahaannya: Lestari Abadi.
Di masa pandemi, Wahyu mendapat pesanan besar dari Bulog untuk memproduksi 2000 piece sambal pecel yang akan dibagikan kepada warga. Saat itu, ia sempat diterpa isu tak sedap, di mana ada pihak tidak bertanggung jawab yang membuat produk serupa namun berkualitas buruk dan basi, hingga merusak citra produknya.
Dari pengalaman pahit itu, Wahyu belajar pentingnya pembeda dan branding yang kuat. Ia mulai menambahkan elemen desain yang unik pada kemasannya. Titik balik penamaan merek terjadi saat bisnis catering Wahyu (juga bernama Lestari Abadi) dipercaya mengelola dapur rumah dinas Wakil Walikota Madiun.
“Di situ Bu Inda Raya (istri Wakil Walikota) beliau matur, ‘Jangan kasih nama Lestari Abadi, karena sambal pecel ini adalah sambal legend, sambal pecel ini adalah makanan tradisional. Kenapa enggak dikasih namanya Ibu saja yang lebih nueni (tradisional) seperti itu’,” kenang Wahyu.
Saran itulah yang menginspirasinya. Nama Bu Pariyem digunakan, dan alhasil, ia merasa nama itu membawa keberuntungan (ngerejekeni). Segalanya terasa lebih lancar, dari pengurusan surat-surat hingga pengakuan publik.
“Alhamdulillah sampai detik ini ternyata namanya ngerejekeni, Mas. Namanya ibu itu ternyata ngerejekeni,” ujarnya penuh syukur.
Ia mengaku tak menyangka bisa mencapai titik ini: memenangkan penghargaan dari Bank Jatim, dikenal banyak orang, padahal ia hanya "anak dari kota kecil, hanya anak orang biasa yang bukan dari kalangan pejabat.”
“Tapi saya bisa membuat nama ibu saya dikenal banyak orang,” tutupnya dengan bangga.
Visi Mulia dan Rezeki yang Mengalir
Cita-cita Wahyu Lestari ke depan sungguh jelas dan ambisius: membawa Sambal Pecel Bu Pariyem ekspor ke luar negeri dengan nama sendiri.
Meskipun secara tidak langsung produk yang ia maklon (diproduksi untuk merek lain) sudah sampai ke mancanegara, ia ingin nama Bu Pariyem yang tercetak di kemasanlah yang melintasi batas negara. Tujuannya bukan semata-mata keuntungan, melainkan kebanggaan.
“Biar lebih bisa membantu, terutama membanggakan kedua orang tua, menuruti apa yang diingini orang tua, terutama ibu,” katanya. Namun, di balik ambisi bisnis, Wahyu Lestari menjalankan prinsip hidup yang mulia. Ia percaya bahwa kesuksesan harus disertai kebermanfaatan.
“Saya itu setiap satu minggu dua kali, Minggu tiga kali, pasti saya kirim ke rumah sakit, kirim nasi,” ungkapnya.
Wahyu rutin menyumbang nasi bungkus ke kotak nasi gratis di Rumah Sakit Sogaten, Madiun. Ia berharap, jika usahanya semakin sukses dan uangnya semakin banyak, ia bisa berbagi lebih banyak, bahkan setiap hari.
Filosofi Rezeki Wahyu Lestari:
“Tapi jangan berpikir nek kita ngasih terus kita kembali banyak, jangan seperti itu, ya. Kita ngasih aja, ngalir aja. Tapi enggak tahu, setiap kita keluar gitu kembalinya banyak gitu. Jadi jangan mikir ‘Oh, aku tak mari ngene ben soleh rezeki,’ enggak. Enggak bisa gitu. Ngalir aja.”
Wahyu memaknai rezeki bukan hanya dari keuntungan materi, tetapi dari kemampuan untuk berbagi. Ia merasa puas batin ketika bisa membantu, terutama bagi mereka yang paling membutuhkan, seperti orang-orang yang menunggu pasien di rumah sakit.
“Memaknai rezeki itu bagi saya, saya bisa berbagi itu sudah rezeki yang luar biasa, Mas. Saya bisa berbagi,” ia menyimpulkan.
Kisah Wahyu Lestari dan Sambal Pecel Bu Pariyem adalah perpaduan sempurna antara warisan tradisional, inovasi modern, dan etos kemandirian. Ia membuktikan bahwa dengan keberanian melawan mitos lama dan fokus pada kualitas serta kebermanfaatan, seorang pengusaha muda dari kota kecil mampu menembus batasan dan membawa cita rasa khas Madiun menuju panggung dunia.
Menutup Tirai: Bukan Sekadar Sambal, Tapi Semangat Indonesia Muda
Perjalanan Wahyu Lestari adalah cerminan sejati dari semangat Madiun Mendunia. Ia mengubah batasan (seperti keterbatasan daya tahan produk tradisional dan ketidakmampuan bangun pagi) menjadi pemicu inovasi. Dengan modal keberanian, pemanfaatan teknologi digital, dan komitmen pada kualitas yang terjamin (BPOM dan Halal), ia membuktikan bahwa UMKM lokal memiliki kekuatan untuk bersaing di level tertinggi.
Sambal Pecel Bu Pariyem kini bukan sekadar bumbu; ia adalah duta rasa, pembawa warisan, dan bukti nyata bahwa kesuksesan finansial harus beriringan dengan manfaat sosial—prinsip yang dipegang teguh oleh Wahyu Lestari. Tekadnya untuk menembus pasar internasional dengan nama ibunya adalah tantangan berikutnya, sebuah mimpi besar yang didukung oleh fondasi bisnis yang kuat dan hati yang dermawan. Kisah ini adalah pengingat bahwa di setiap dapur kecil Indonesia, tersimpan potensi besar untuk menaklukkan dunia.
Suara Anda Berharga! Kami mengundang Anda untuk merespons kisah inspiratif Wahyu Lestari. Mari berdiskusi!
- Inovasi vs. Tradisi: Bagaimana menurut Anda, seberapa penting inovasi kemasan dan daya tahan produk (seperti yang dilakukan Bu Wahyu) untuk menjaga kelangsungan warisan kuliner tradisional Indonesia?
- Mitos 'Bangun Pagi': Apakah Anda setuju dengan pandangan Bu Wahyu bahwa disiplin dan tanggung jawab kerja lebih penting daripada jam bangun pagi? Bagaimana Anda memaknai disiplin dalam dunia wirausaha modern?
- Visi Ekspor: Produk UMKM lokal apa lagi di daerah Anda yang menurut Anda memiliki potensi besar untuk diekspor dan perlu mengikuti langkah Bu Wahyu dalam melengkapi legalitas (BPOM, Halal, HKI)?
Sumber : youtube PecahTelur Bisa Beli Rumah di Usia 24 Tahun dari Jualan Sambal Pecel.
Reviewed by arcomedia.pro
on
Oktober 29, 2025
Rating:






Tidak ada komentar: