Kebijakan Kontra Siklus dan Optimisme Ekonomi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa
Kuliah Ekonomi "Daging" Sang Menteri Koboi: Strategi Kontra-Siklus Purbaya Yudhi Sadewa Memacu Pertumbuhan 8%
Jakarta, 28 Oktober 2025 — Aula Ballroom Lantai 3 Menara Bank Mega, Jakarta, dipadati oleh para pemikir terkemuka bangsa. Ratusan ekonom nasional, pejabat tinggi pemerintah, akademisi, dan pelaku usaha berkumpul dalam ajang prestisius Sarasehan 100 Ekonom Indonesia 2025 yang diselenggarakan oleh Institut untuk Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (INDEF).
Namun, semua mata tertuju pada sosok yang belakangan ini paling banyak dibicarakan: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Dengan gaya penyampaiannya yang ceplas-ceplos, lugas, dan sering dijuluki "Koboi," Mas Purbaya memberikan semacam "kuliah ekonomi gratis" yang isinya, menurut banyak kalangan, adalah "daging" semua inti kebijakan yang sangat substantif.
Dipandu oleh ekonom senior Aviliani, sesi khusus ini mengupas tuntas tantangan fiskal 2025 dan strategi makro Purbaya untuk membalikkan tren perlambatan ekonomi. Diskusi ini tidak hanya menawarkan wawasan kebijakan, tetapi juga perbandingan historis yang tajam mengenai peran sektor swasta dan pemerintah dalam mencapai target pertumbuhan yang ambisius.
Diagnosis Tajam: Ekonomi yang Dicekik Kebijakan Pro-Siklus
Menteri Purbaya memulai paparannya dengan sebuah diagnosis yang berani dan blak-blakan. Ia menyatakan bahwa perlambatan ekonomi yang signifikan, bahkan terasa mencekik sejak setahun terakhir, bukanlah semata-mata karena dampak eksternal, melainkan karena kebijakan fiskal dan moneter yang tidak akurat, bahkan cenderung pro-siklus.
“Ekonomi diperlambat dengan kebijakan fisikal dan moniter yang tidak terlalu akurat. Kalau saya enggak tunjukin kesalahannya, saya enggak bisa betulin... Mei, Juni, Juli, Agustus, ekonomi dicekik lagi dengan seperti menghilangnya uang dari sistem perekonomian.”
Ia mengkritik bahwa di saat siklus bisnis sedang turun (kontraksi), kebijakan yang diterapkan justru memperparah keadaan. Alih-alih menerapkan counter-cyclical measure (kebijakan melawan siklus) untuk mendorong ekonomi, langkah yang diambil justru bersifat pro-siklus, misalnya, dengan mengenakan atau menaikkan pajak di berbagai sektor.
"Saya bisa kenakan pajak seperti itu, tapi enggak ada gunanya. Makin jatuh ekonominya, pendapatan pajak juga makin kecil. Saya naikin lagi pajaknya, makin lagi ke bawah. Akibatnya, ya ekonomi akan terus turun ke bawah. Mungkin karisasi yang mungkin parah," tegasnya, merujuk pada prinsip dasar ekonomi bahwa penarikan likuiditas atau pengenaan beban saat daya beli lemah hanya akan mempercepat resesi.
Solusi Kontra-Siklus: Mengoptimalkan Uang yang Menganggur
Menyadari bahwa permintaan dana APBN dari berbagai kementerian (seperti yang didengar dalam sesi sebelumnya) sangatlah besar, Mas Purbaya tidak memilih ekspansi fiskal yang berlebihan. Sebaliknya, ia menerapkan kebijakan kontra-siklus yang irit dengan mengoptimalkan uang pemerintah yang sudah ada.
1. Gebrakan Rp200 Triliun dan Hukum Ekonomi Sederhana
Langkah perdananya yang paling mengundang perdebatan adalah penempatan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) pemerintah sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).
"Saya yang saya kerjakan adalah mengoptimalkan semua uang-uang yang ada yang ada milik di tangan saya semua... Setiap tahun tuh 400 sampai 500 triliun sisanya (di BI). Jadi saya pikir kita belanjakan itu cepat. Saya balikin 200 triliun ke sistem perekonomian," jelasnya.
Mas Purbaya menyebut langkah ini sebagai "langkah yang paling gampang," karena hanya memindahkan uang kas dari satu brankas (BI) ke brankas yang lain (Bank Komersial/Himbara). Namun, dampak makronya luar biasa.
- Logika Supply-Demand: Ini adalah aplikasi murni dari hukum suplai dan permintaan. Uang adalah komoditas. Ketika suplai uang (likuiditas) di sistem perbankan bertambah (dari Rp200 triliun), maka harga uang akan turun. Harga uang adalah suku bunga.
- Dampak Suku Bunga: Bunga pinjaman akan turun, yang pada gilirannya mendorong permintaan kredit. Kredit yang tumbuh akan menggerakkan sektor riil swasta lebih cepat, bukan hanya sektor pemerintah.
- Insentif Belanja: Suku bunga deposito juga turun, yang memunculkan opportunity cost of money.
"Orang yang tadinya duitnya pas-pasan berani juga jalan-jalan. Kenapa? Nanti kan ke depan gampang cari duit lagi. Kira-kira gitu... Jadi ini kan mendorong semuanya."
Efeknya, optimisme masyarakat mulai kembali, bunga kredit turun, dan pertumbuhan kredit mulai terlihat, menunjukkan pembalikan arah ekonomi.
2. Kenaikan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKKP)
Purbaya menunjukkan data IKKP yang dibuat oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Indeks yang pada Juli-September turun hingga mendekati level krisis (sekitar 101-117), melambangkan ketidakpuasan riil masyarakat karena kesulitan ekonomi. Dengan kebijakan kontra-siklus yang dijalankan, IKKP pada Oktober 2025 melonjak signifikan hingga ke level 130,6.
"Dan kalau enggak kita balik, saya yakin di bulan-bulan berikutnya demo akan makin luas... Jadi kita balik dengan counter cyclical policy yang irit. Saya cuma perbaiki manajemen keuangan saya, perbaiki manajemen kas. Belanjanya diserap tepat waktu, tepat sasaran," ungkapnya.
Strategi Tax Ratio dan Menghidupkan Mesin Swasta
Salah satu pertanyaan kunci dari moderator Aviliani adalah bagaimana Mas Purbaya berencana meningkatkan rasio pajak (tax ratio) tanpa "mengejar-ngejar pajak" yang justru membuat dunia usaha tidak nyaman.
Purbaya menjawab dengan perbandingan historis yang menarik:
- Indikator Ekonomi Era Presiden SBY (2004-2014) Era Presiden Jokowi (2014-2024) Strategi Purbaya
- Pendorong Utama Private Sektor (Swasta) Government Sektor (BUMN & Infrastruktur) Menghidupkan Kembali Private Sektor
- Rata-rata Tax Ratio Sekitar 11% Antara 10%-10,5% Target naik 1-2,5% dari level 10% saat ini. Pertumbuhan Kredit Sekitar 22% Sekitar 7% Diproyeksi tumbuh lebih cepat.
- Target Pertumbuhan On average 6% On average 5% Ditargetkan kembali ke 6% ke atas.
Pajak Pro-Pertumbuhan: Purbaya menekankan bahwa ketika sektor swasta yang menjadi mesin pertumbuhan, penerimaan pajak akan meningkat secara organik. Kenaikan tax ratio sebesar 1-2,5% dari level 10% saat ini berpotensi memberikan pendapatan tambahan Rp120 triliun hingga Rp240 triliun tanpa perlu menaikkan tarif pajak.
Insentif Pajak: Kebijakan seperti menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp5 juta menjadi Rp7 juta bagi sektor wisata, memberikan insentif konsumsi yang meningkatkan daya beli (disposable income) masyarakat. Kesenangan masyarakat ini, kata Purbaya, akan mendorong belanja, yang pada akhirnya memutar roda ekonomi dan meningkatkan penerimaan negara.
Mengurai Polemik Transfer ke Daerah dan Utang Negara
1. Transfer ke Daerah (TKD): Bukan Dipotong, Tapi Belum Dibelanjakan
Mengenai transfer ke daerah (TKD) yang sempat menuai protes dari para gubernur, Purbaya menjelaskan bahwa pemotongan yang terjadi (sekitar Rp400 triliun) adalah warisan kebijakan yang telah ditetapkan sebelum ia menjabat. Namun, revisi APBN 2026 yang diusulkan oleh Kementerian Dalam Negeri sudah mengakomodasi kenaikan TKD sebesar Rp43 triliun.
Poin krusial yang ia sampaikan kepada para kepala daerah adalah: perbaiki dulu manajemen kas dan belanja daerah. "Saya bilang bantu saya untuk membantu Anda. Cobalah tunjukkan 2 triwulan ini, triwulan sekarang sama triwulan 1 tahun depan, bahwa Anda sudah lebih pandai mengelola keuangan daerahnya, enggak ada bocor dan lain-lain. Belanjanya tepat waktu."
Jika daerah berhasil membelanjakan uangnya secara efektif, Purbaya berjanji akan mempertimbangkan tambahan TKD, seiring dengan membaiknya pendapatan negara dari pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Ia juga mencatat, dana pemerintah pusat yang dibelanjakan langsung di daerah (di luar TKD) justru naik dari Rp900 triliun menjadi Rp1.130 triliun, menegaskan bahwa fokus pembangunan ke daerah tetap tinggi.
2. Ketahanan Utang: Jauh di Bawah Batas Pruden
Isu utang yang dikhawatirkan masyarakat dijawab Mas Purbaya dengan tenang, merujuk pada prinsip kehati-hatian (prudence) fiskal dan standar internasional.
Rasio Kehati-hatian Domestik: Defisit APBN terhadap PDB dijaga di bawah 3%, dan rasio Utang terhadap PDB dijaga di bawah 40%.
Standar Global: Purbaya membandingkan dengan negara maju. Amerika Serikat memiliki Utang terhadap PDB di atas 100%, Jepang 275%, dan Singapura 200%.
"Jadi dengan standar internasional yang paling ketat pun kita masih pruden. Ibu enggak usah terlalu panik. Saya enggak akan tembus 3% defisit to GDP ratio. Anytime soon. Saya akan jaga terus tahun ini, tahun depan, tahun depan," ujarnya meyakinkan.
Visi Pertumbuhan 6%, 7%, hingga 8%
Dalam menghadapi target pertumbuhan yang ambisius hingga 8% pada akhir periode pemerintahan, Purbaya menyatakan:
- Target 6% (Realistis): Dapat dicapai dengan mudah, hanya dengan menghidupkan kembali mesin swasta (seperti yang terjadi pada era SBY) dan menambah dorongan dari belanja pemerintah.
- Target 7% dan 8% (Perlu Perubahan Struktural): Untuk mencapai angka 7% hingga 8%, Purbaya fokus pada perbaikan fundamental, terutama iklim investasi.
Purbaya mengungkapkan telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Program Pembangunan (Pokja Debottlenecking) di bawah koordinasi Komite Ekonomi untuk menerima dan memecahkan masalah langsung dari pelaku bisnis.
"Kalau Anda lihat di kertas kan semua sudah bagus. Anda tanya Febri tuh. Wah kita udah bagus perizinan ini sudah ada, udah udah lancarlah pokoknya di atas kertas. one window apa one stop policy apalagi semuanya gitu pokoknya baguslah. Tapi kan di lapangannya enggak begitu. Jadi saya balik, saya tarik dari lapangan..."
Sesi Khusus dan Tantangan Ke Depan
Sesi tanya jawab yang dipimpin Aviliani turut menghadirkan pandangan kritis dari Prof. Didin Damanhuri dan Rangga Cipta, Chief Economist Mandiri Sekuritas.
1. Kekhawatiran Ketimpangan (Prof. Didin): Prof. Didin khawatir bahwa penyaluran dana Rp200 triliun ke perbankan justru akan memperburuk ketimpangan jika mayoritas dialokasikan ke kelompok bisnis besar (konglomerat).
Jawaban Purbaya: Ia telah memberi instruksi kepada Himbara untuk tidak menyalurkan dana tersebut kepada konglomerat dan tidak membiarkan dana itu digunakan untuk membeli dolar. Ia memercayakan ekspertis sistem perbankan untuk menyalurkan dana ke proyek-proyek yang layak (feasible), menciptakan kompetisi sehat di antara bank, dan pada akhirnya menurunkan bunga pinjaman bagi seluruh pelaku usaha, termasuk UMKM. Ia menekankan, mekanisme pasar yang lebih likuid dan kompetitif adalah cara terbaik untuk penyaluran dana, bukan intervensi pemerintah yang berlebihan.
2. Konflik Kebijakan Pajak (Rangga Cipta): Rangga Cipta mempertanyakan apakah penegakan hukum pajak yang gencar, seperti pemberantasan rokok ilegal dan pengemplang pajak, tidak berlawanan dengan semangat counter-cyclical yang seharusnya meningkatkan disposable income.
Jawaban Purbaya: Ia menjelaskan bahwa penegakan hukum pajak adalah bagian dari reformasi yang bertujuan mencapai keadilan fiskal dan mencegah kebocoran, yang pada dasarnya mendukung industri legal. Peningkatan disposable income justru dijamin melalui penurunan bunga (berkat kebijakan Rp200 triliun) dan kenaikan PTKP. Dengan demikian, ia menggabungkan reward (insentif untuk konsumsi/kredit) dan punishment (penegakan hukum bagi pelanggar) untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih sehat.
Purbaya Yudhi Sadewa, "Menteri Koboi" yang penuh kontroversi dalam komunikasi, berhasil mengubah Sarasehan 100 Ekonom menjadi ruang kuliah publik. Dengan berani ia mengkritik kebijakan yang lalu, meluncurkan kebijakan kontra siklus yang terukur, dan menegaskan keyakinannya bahwa dengan menghidupkan kembali mesin swasta—didukung manajemen fiskal yang cerdas dan prudent Indonesia tidak hanya akan keluar dari perlambatan, tetapi juga mencapai target pertumbuhan yang ambisius.
Pesan intinya jelas: Indonesia punya sumber daya (uang) dan potensi (swasta), yang kini tinggal dimanfaatkan secara optimal untuk akselerasi.
Penutup: Kepemimpinan Fiskal yang Pragmatis dan Berani
Purbaya Yudhi Sadewa telah membuktikan bahwa kepemimpinan fiskal dihadapkan pada pilihan yang sulit: apakah tetap menjaga stabilitas dengan mengorbankan pertumbuhan, atau mengambil risiko kalkulatif untuk memacu akselerasi. Melalui Sarasehan 100 Ekonom Indonesia ini, ia menyajikan argumen yang jelas: stagnasi ekonomi adalah risiko terbesar.
Pendekatan Purbaya adalah perpaduan pragmatisme dan keberanian. Kebijakan counter-cyclical yang diusungnya mulai dari relokasi dana SAL Rp200 triliun untuk menurunkan suku bunga, hingga insentif pajak yang pro-konsumsi dan penegasan keadilan fiskal bukanlah sekadar kebijakan tambal sulang. Ini adalah upaya keras untuk mengembalikan psikologi pasar dan menghidupkan kembali peran vital sektor swasta, yang diyakini Purbaya sebagai fondasi utama untuk mencapai tax ratio yang lebih tinggi dan pertumbuhan PDB di atas 6%.
Di tengah kekhawatiran global dan tekanan domestik, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah meletakkan kartu-kartunya di atas meja. Ia tidak hanya menawarkan janji pertumbuhan 8%, tetapi juga peta jalan yang berakar pada perbaikan manajemen kas, penegasan prinsip kehati-hatian utang, dan keberanian untuk memecahkan hambatan birokrasi melalui Satgas Debottlenecking. Jika strategi "Menteri Koboi" ini berhasil membangkitkan mesin swasta, maka Indonesia akan memiliki kesempatan emas untuk keluar dari jebakan pertumbuhan 5% dan memulai fase akselerasi menuju visi Indonesia Emas. Kegagalan bukan lagi terletak pada ketersediaan dana, melainkan pada eksekusi kebijakan di lapangan dan daya serap sektor riil.
Setelah membaca strategi komprehensif yang diusung oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, berikut adalah beberapa pertanyaan untuk direnungkan:
- Likuiditas vs. Risiko: Apakah pemindahan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp200 triliun ke Himbara cukup aman dan efektif untuk memicu penurunan suku bunga kredit secara signifikan, tanpa menimbulkan risiko inflasi atau moral hazard di perbankan?
- Keseimbangan Fiskal: Purbaya menargetkan peningkatan tax ratio melalui penghidupan sektor swasta. Menurut Anda, seberapa besar peran penegakan hukum pajak yang keras—terhadap rokok ilegal dan pengemplang—dalam mencapai target pendapatan negara ini, dibandingkan dengan sekadar insentif pertumbuhan?
- Visi Pertumbuhan: Dengan diagnosis bahwa akar perlambatan ekonomi adalah kebijakan pro-siklus, apakah Anda yakin bahwa langkah-langkah counter-cyclical yang telah diambil ini cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan PDB dari 5% menuju ambisi 8% dalam jangka waktu yang tersisa?
Kebijakan Kontra Siklus dan Optimisme Ekonomi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa
Reviewed by arcomedia.pro
on
Oktober 31, 2025
Rating:
Reviewed by arcomedia.pro
on
Oktober 31, 2025
Rating:







Tidak ada komentar: