Misteri Makam Ju Panggola, Sang Penjaga Spiritual Gorontalo

Di balik hiruk pikuk Kota Gorontalo, di atas bukit setinggi 50 meter di Kelurahan Lekobalo, Kecamatan Kota Barat, tersembunyi sebuah makam yang menyimpan kisah penuh misteri. Ini bukanlah makam biasa, melainkan tempat peristirahatan terakhir seorang tokoh besar, Raja Ilato, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ju Panggola. Lebih dari sekadar raja, ia adalah waliyullah yang namanya masih hidup di sanubari masyarakat Gorontalo hingga kini.

Pada abad ke-17, Raja Ilato mengukuhkan pondasi peradaban Gorontalo dengan falsafah adat yang kokoh: Adat bersendikan sara, sara bersendikan Kitabullah. Falsafah ini menjadikan Islam sebagai landasan utama dalam setiap sendi kehidupan, mulai dari adat, budaya, hingga pemerintahan. Berkat penguasaan ilmu agama yang tinggi, Raja Ilato tak hanya dihormati sebagai ulama, tetapi juga diakui sebagai waliyullah. Atas jasanya yang luar biasa, ia dianugerahi gelar adat "Ta Lo'o Baya Lipu"—Orang yang Berjasa kepada Rakyat—sebagai simbol penghormatan tertinggi.

Namun, di balik kebesaran namanya, ada selubung misteri yang menyelimuti akhir hayatnya. Legenda Gorontalo memiliki dua versi cerita yang berbeda. Ada yang meyakini Ju Panggola wafat di Mekah, sementara versi lain menyebutkan bahwa ia tidak wafat, melainkan "raib" atau menghilang secara gaib. Konon, ia pernah berwasiat, “Di mana ada bau harum dan tanahnya berwarna putih, di situlah aku.” Wasiat inilah yang menjadi petunjuk bagi masyarakat setempat untuk mendirikan makam di balik mihrab Masjid Quba, sebuah tempat di mana tanahnya harum dan berwarna putih, diyakini sebagai tempat Ju Panggola beristirahat panjang.

Makam Keramat dan Kisah-kisah Unik di Baliknya

Makam Ju Panggola kini menjadi salah satu destinasi wisata religi favorit di Gorontalo. Untuk mencapainya, peziarah harus menapaki anak tangga atau melewati jalan setapak di lereng bukit. Setibanya di sana, sebuah bilik berukuran 3x3 meter menyambut, dengan dinding yang ditutupi kelambu putih, senada dengan lantai keramiknya. Dari pelataran masjid, pemandangan Danau Limboto yang memesona terhampar luas, menambah ketenangan suasana.

Saat bulan Ramadan atau musim paceklik tiba, makam ini ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah. Mereka berdatangan untuk berkhalwat, berpuasa, berzikir, dan berdoa dengan khusyuk selama tujuh hari. Ada pula tradisi unik di kalangan peziarah, yaitu meletakkan sebotol air putih di makam selama tiga hari tiga malam, dengan harapan air tersebut berubah menjadi obat mujarab untuk segala penyakit.

Tidak hanya air, tanah makam yang berwarna putih dan berbau harum pun menjadi buruan. Banyak peziarah yang mengambil sejumput tanah ini karena dipercaya bisa menjadi obat. Ajaibnya, meski terus-menerus diambil, tanah tersebut konon tidak pernah habis dan akan kembali seperti sedia kala. Bahkan, ada kisah menarik di mana para gadis membawa pulang tanah makam ini sebagai lulur, berharap bisa mempercantik diri dan mempercepat datangnya jodoh.

Kisah-kisah ini menunjukkan betapa kuatnya ikatan spiritual antara masyarakat Gorontalo dengan para wali. Ju Panggola, bersama waliyullah lainnya, tidak hanya menjadi bagian dari sejarah, tetapi juga rujukan spiritual yang senantiasa hidup di hati masyarakat. Kehadiran makam-makam ini diyakini membawa ketentraman, kedamaian, dan solusi bagi setiap permasalahan yang muncul.

Arief Arcomedia



Posting Komentar

0 Komentar