Depito Dutu: Ketika Harta dan Adat Menyatu dalam Pernikahan Khas Gorontalo

Hantaran Adat Penuh Makna dan Simbol di Gorontalo

Sebelum dua insan di Gorontalo disatukan dalam janji suci pernikahan, ada serangkaian adat yang harus mereka jalani. Salah satu yang paling unik dan memikat adalah prosesi Depito Dutu, atau yang dikenal juga dengan sebutan "antar harta". Bukan sekadar mengantar mahar, Depito Dutu adalah perwujudan komitmen dan rasa hormat yang mendalam, kelanjutan dari prosesi pinangan yang disebut Tolobalango.

Depito Dutu biasanya digelar seminggu hingga sebulan sebelum hari akad nikah. Ini bukan acara sembarangan, melainkan sebuah arak-arakan besar yang penuh makna. Keluarga calon mempelai pria akan membawa seluruh harta yang telah disepakati—mulai dari mahar utama hingga beragam kebutuhan calon pengantin wanita.

Arak-arakan ini tidak hanya membawa mahar berupa uang, emas, atau perhiasan. Dalam rombongan, ada pula berbagai kebutuhan calon pengantin wanita, seperti busana, perhiasan, kosmetik, hingga pakaian dalam. Tak ketinggalan, ada beragam buah-buahan, bumbu dapur, dan beras yang turut diantar. Setiap barang memiliki simbolismenya sendiri, mencerminkan harapan akan kehidupan rumah tangga yang makmur dan berkah.

Seluruh hantaran ini diangkut dengan kendaraan yang dihiasi janur kuning, diikuti oleh iring-iringan keluarga besar calon mempelai pria. Menariknya, dalam prosesi ini, calon mempelai pria justru tidak diperbolehkan ikut. Ia hanya menunggu di rumah, sementara keluarganya mewakili dirinya untuk menyerahkan harta dan memohon restu.


Ketika rombongan tiba di halaman rumah calon mempelai wanita, suasana langsung berubah menjadi meriah sekaligus khidmat. Pemangku adat dari pihak pria, yang disebut Lundhu Dulango Layio, akan disambut dengan tarian bela diri Longgo. Tarian ini diiringi tabuhan rebana dan nyanyian tradisional Gorontalo yang berisi pantun, doa, serta harapan kebahagiaan bagi kedua calon mempelai.

Di depan tangga rumah, juru bicara pihak pria akan berhadapan dengan juru bicara pihak wanita, Lundhu Dulango Wolato. Di sinilah tradisi tujai, atau saling berbalas pantun dalam bahasa adat Gorontalo, terjadi. Pantun-pantun ini bukan sekadar hiburan, melainkan berisi kata-kata bijak yang membuka jalan bagi rombongan untuk masuk dan memulai prosesi inti.

Hantaran harta kemudian diletakkan di atas kain panjang berwarna adat secara berurutan. Yang pertama dan paling utama adalah mahar, disusul oleh Bakohoti—berbagai perlengkapan pribadi calon pengantin wanita. Terakhir, aneka buah-buahan disusun rapi.

Di antara tumpukan buah-buahan, ada beberapa jenis yang wajib ada karena memiliki makna khusus: pinang, sirih, gambir, tembakau, nanas, tebu, nangka, limun, dan tunas kelapa. Buah-buahan ini menjadi simbol-simbol harapan baik, sementara buah lainnya berfungsi sebagai pelengkap.

Setelah penyerahan harta, uang untuk biaya pesta pernikahan diserahkan, menandakan komitmen penuh dari pihak pria. Prosesi ini diakhiri dengan Mo Tile, di mana satu per satu anggota keluarga pria dipersilakan masuk ke kamar untuk melihat calon mempelai wanita yang telah dirias cantik.

Pernikahan adat Gorontalo, dengan segala ritualnya, sangat kental dengan nilai-nilai Islam. Adat istiadatnya menjunjung tinggi syariat, sesuai dengan semboyan masyarakat Gorontalo: "Adati hula-hula sareaati, sareaati hula-hula to kitabullah", yang berarti "Adat bersendikan syara, syara bersendikan Kitabullah."

Depito Dutu lebih dari sekadar "antar harta." Ini adalah perayaan cinta, komitmen, dan kekayaan budaya Gorontalo yang unik, di mana setiap detailnya menyimpan makna mendalam yang menguatkan ikatan sakral sebuah pernikahan.



Posting Komentar

0 Komentar