Tradisi pembeatan bagi perempuan Gorontalo, yang dikenal sebagai "Mome'ati" atau "Mo Be'ati", adalah upacara adat yang menandai perubahan status seorang gadis menjadi remaja yang telah akil baligh dan secara religius menjadi muslimah seutuhnya. Ritual ini merupakan bagian dari warisan budaya Gorontalo yang dilindungi hukum dan memiliki nilai spiritualitas Islam yang kuat.Upacara ini menandai perubahan fisik dan spiritual seorang gadis saat memasuki masa pubertas, yang ditandai dengan menstruasi pertama. Mome'ati juga dianggap sebagai proses pemurnian diri melalui tradisi Islam, dengan tujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang agama kepada gadis tersebut.
Upacara Momeati dilakukan di rumah orang tua
gadis yang sudah timbul kedewasaannya (menstruasi). Perempuan yang sudah
mendapatkan menstruasi wajib melaporkan diri kepada orang tuanya, yaitu kepada
ibunya bahwa ia telah memasuki masa kedewasaan. Semua perbuatan yang dilakukan
akan menjadi tanggung jawab yang dipegang oleh dirinya sendiri. Waktu
pelaksanaan pada siang hari yang melibatkan bidan kampung, pemangku adat, dan
pegawai syara'.
Ritual Mome'ati terdiri dari berbagai tahapan, antara lain Momondo atau pemberian tanda suci, yaitu hulango atau pemangku adat Menyentuh bagian tubuh gadis yaitu dahi, pundak, lengan, dan lutut dengan campuran rempah alawahu tilihu atau campuran kunyit, kapur, dan air. Dilanjutkan dengan Ramalan Hulango melemparkan potongan jeruk, pala, dan cengkih ke dalam talam, Melalui ritual ini, dapat diramalkan tentang masalah jodoh hingga karakter dari wanita, dengan petunjuk bahan alam yang digunakan.
Setelah itu, gadis mengenakan pakaian dengan bate tunggohu atau sarung batik diikatkan sebatas dada. Lalu, diadakan ritual Momuhuto atau siraman air kembang. Dalam prosesi Siraman ini si Gadis duduk di atas dudangata alat parutan kelapa yang dihiasi dengan batang tebu setandan pisang, dan mayang dan posisi duduknya menghadap ke timur,. Hulango diikuti orang tua dan keluarga menyiram tubuh gadis dengan air yang terisi di 7 ruas bambu kuning yang di dalamnya terisi koin logam bercampur bunga dan jeruk purut.
Dalam upacara ini
dilakukan rirual Tepuk Mayang Hulango melakukan tepuk mayang yang
pelepahnya masih terbungkus, kemudian pucuknya digosokkan ke seluruh tubuh. Hulango
memecahkan telur di atas telapak tangan gadis, disalin dari tangan kiri ke
tangan kanan secara bergantian, dan meminta gadis untuk menelan kuning telur.
Setelah
mandi dilanjutkan dengan ritual Mopohuta’a to pingge yaitu menginjakkan kaki di
atas piring yang didahului dengan kaki kanan lalu kaki kiri, diantar dengan
tuja’i dari pemangku adat. Gadis berjalan di atas 11 piring yang berisi uang
koin, beras, gabah, dan selembar daun bunga puring,
Dari
sebelas piring tersebut Tujuh diantaranya harus diinjak yang bermakna 7 aspek
pertahanan seorang gadis dalam kehidupannya. Anatara lain Piring pertama yang
berisi tanah dan tumbuhan po’otoheto atau yang diistilahkan hutawawutilihula,
bermakna kehidupan di bumi yang dilambangkan dengan tanah, perlu memperkuat
pendirian, keimanan dan ketakwaan yang dilambangkan dengan tumbuhan po’otoheto,
Piring kedua yang berisi buah jagung, bermakna sang putri wajib mempertahankan
kesucian dan kehormatan dirinya, baik mulai dari remaja sampai berumah tangga,
dilambangkan dengan buah jagunr yang terbalut dengan kulitnya dari pembentukan
tongkol sampai buahnya tua dan kering;
Piring
ketiga yang berisi beras, bermakna kerendahan hati yang dilambangkan dengan
buah padi, semakin berissi semakin merunduk. Demikian pula anak gadis semakin
cantik semakin baik budi pekertinya;
Piring
keempat berisi Tala’a Ngala’a atau uang beragam nilainya, bermakna penghematan.
Uang merupakan suatu kebutuhan yang dicari oleh manusia, jika dihematkan maka
hasil dapat dinikmati oleh pemiliknya. Tetapi uang juga dapat membahayakan
kehidupan seorang gadis karena memburu uang ia dapat memjual dirinya.
Piring
kelima berisi daun puring (polohungo), bermakna adat artinya seorang
gadis harus memahami pantangan adat mulai dari remaja sampai berumah tangga, antara
lain menghindari Umobulilo (perbuatan yang janggal) dan perbuatan Umo’olito
(perbuatan yang memalukan) diri sendiri dan keluarga.
Piring
keenam berisi BakohatiUmonu (ramuan lulur/bedak yang harum)bermakna,
penataan diri mulai dari remaja sampai berumah tangga. Menata diri untuk
kebersihan sendiri dan merias diri untuk suami bagi yang sudah berumah tangga.
Piring ketujuh berisi bulewe (mayang pinang)bermakna,keharuman nama dan keluarga perlu dijaga baik semasih gadis maupun sudah berumah tangga. kemudian pemangku adat menyisir rambut dan memperlihatkan cermin kepada si gadis disertai nasihat atau petuah dari pemangku adat.
Setelah
prosesi adat selesai dilanjutkan dengan Pembaiatan oleh Imam
wilayah atau tokoh adat setempat membaiat gadis sesuai dengan syariat Islam,
termasuk mengucapkan dua kalimat syahadat, menjelaskan rukun Islam, iman, dan
ihsan. Prosesi ditutup dengan membacakan selawat.
Pada pembacaan ikrar dan nasehat (mome’ati) terdapat nilai-nilai estetika; keindahan, keharuman, keserasian,
kesehatan, kemulusan, kelembutan, kesejukan, kebahagiaan, kesejahteraan,
Kebersihan, keceriaan, kemuliaan, dan kenikmatan.
Perjalanan adat mome’ati di Gorontalo pada hakikatnya memiliki sejarah panjang hingga
menjadi sebuat adat yang sudah paten. Hal ini tentunya mempunya landasan dasar
sehingga adat ini masih tetap dipertahankan oleh masyarakat Gorontalo, Guna
melesetarikan tradisi ini Pada hari Kamis, 22 Mei 2025, Pemkot
Gorontalo melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Gorontalo
menyelenggarakan Tradisi momeati secara massal kepada 50 orang remaja putri
peserta didik kurang mampu yang berlangsung di Gedung Yiladia kota Gorontalo.
Upacara Momeati mempunyai beberapa kandungan
nilai, seperti kebersamaan, gotong royong, keselamatan, dan religiusitas. Nilai
kebersamaan dicerminkan oleh berkumpulnya sanak kerabat yang diselenggarakan
seperti halnya sebuah pesta. Sehingga upacara ini membutuhkan persiapan yang
perlu diperhitungkan yang baik sebelum pelaksanaan, saat pelaksanaan, atau
sesudah prosesi berlangsung yang tentunya membutuhkan biaya yang terbilang
cukup besar. Untuk itu pemerintah kota Gorontalo hadir membantu mengurus
masyarakat melaksanakan pembeatan massal ini kepada anak didik yang layak
dibantu agar dapat meringankan beban para orang tua mereka.
Dalam kesempatan itu walikota Gorontalo H. Adhan Dambea, menekankan pentingnya menjaga dan melestarikan tradisi adat sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat Gorontalo. Ia menyebut bahwa Momeati bukan sekadar upacara seremonial, melainkan warisan budaya yang penuh nilai. Sehingga pemerintah hadir memfasilitasi warga kurang mampu meringankan beban mereka.
Hasl senada juga disampaikan oleh
ketua DPRD Kota Gorontalo Irwan Hunawa, menurutnya Acara
ini sangat baik dilaksanakan, karena ini merupakan bentuk pembinaan tradisi
adat untuk melestarikan budaya daerah sebagi warisan leluhur orang Gorontalo.
Tradisi Mome'ati memiliki makna simbolis yang
mendalam, yaitu Menjaga kesucian dan
kehormatan diri sebagai perempuan, Memperkuat pendirian, keimanan, dan ketakwaan,
serta Menjadi bagian dari warisan budaya lokal yang perlu dilestarikan.
Tim Liputan Arcomedia
0 Komentar