Kisah Sukses Ryan Gondokusumo dan Sribu: Lulusan Amerika Ciptakan Pasar Freelance Crowdsourcing No.1 di Indonesia
Ryan Gondokusumo: Menciptakan Samudra Biru Freelance di Indonesia Lewat Sribu
Lulusan Amerika ini justru menemukan peluang bisnis besar di Indonesia bukan dengan ikut bersaing, tapi dengan menciptakan pasar baru yang belum pernah ada sebelumnya. Dia adalah Ryan Gondokusumo, owner dan pendiri Sribu, platform freelance No.1 di Indonesia yang mempertemukan ribuan pekerja kreatif dengan perusahaan dari berbagai industri.
Saat diwawancarai di saluran youtube Naik Kelas, Ryan menceritakan bekal ilmu dan pengalaman selama kuliah di luar negeri, Ryan melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain. Ketika banyak pengusaha berlomba di pasar yang sama, ia memilih jalur berbeda: menemukan solusi unik yang benar-benar dibutuhkan masyarakat Indonesia, tapi belum ada pemainnya. Dari situlah Sribu lahir bukan hanya menjadi bisnis sukses, tapi juga membuka peluang kerja baru bagi ribuan talenta kreatif di seluruh Indonesia.
Visi dari Chicago: Melampaui Batasan Bisnis Tradisional
Latar belakang Ryan Gondokusumo sebagai insinyur elektro yang lulus dari universitas di Amerika pada tahun 2002 memberikan perspektif unik tentang bagaimana bisnis modern seharusnya berjalan. Pengalaman yang paling membekas adalah kunjungannya ke sebuah perusahaan di Chicago.
"Dulu banget pas saya masih di Amerika, saya sempat datang ke satu company ya, di mana company itu punya 15 orang tapi dia handle-nya sampai ratusan ribu klien," kenang Ryan.
Rahasia perusahaan tersebut? Model bisnis online dengan konsep crowdsourcing.
Crowdsourcing mengumpulkan ide atau output dari banyak orang adalah konsep yang belum familiar di Indonesia saat itu. Ryan menyadari kekuatan di balik bisnis daring: kemampuan untuk scale tanpa harus mengeluarkan modal besar untuk membuka cabang, layaknya bisnis tradisional.
"Kalau misalnya kita traditional company contohnya kayak restoran... tiap kali buka cabang itu kan pasti keluarin kapital atau modal lagi ya. Sehingga itu bisnisnya untuk bisa scale rada susah," jelas Ryan. "Sementara online company... yang penting kita gedein server kayak kita gitu."
Wawasan inilah yang menjadi cikal bakal filosofi Sribu: membangun bisnis yang mampu menjangkau klien secara global, namun tetap fokus pada solusi pasar lokal. Dengan visi memiliki online company, Ryan kembali ke Indonesia. Setelah bekerja di corporate company selama kurang lebih empat tahun, ia membulatkan tekad untuk memulai perjalanannya sebagai entrepreneur.
Kelahiran Sribu: Modal Rp 30 Juta dan 100 Klien Pertama
Ryan memulai Sribu dengan modal awal yang relatif kecil, sekitar Rp 30 - 40 juta, hasil dari tabungannya setelah bekerja. Sribu resmi lahir sebagai marketplace yang menghubungkan klien dengan freelancer, mencakup desainer grafis, programmer, editor video, dan banyak lagi.
Menghadapi Klien di Era Pra-Digital
Pada tahun 2011, tantangan terbesar bukanlah kompetitor, melainkan edukasi pasar. "Klien itu ngajak kita untuk meeting. Jadi mereka itu di 2011 itu masih enggak fasih soal online. Online itu untuk cari info tapi belum untuk transaksi," ujar Ryan.
Untuk 100 klien pertamanya, Ryan harus melakukannya secara manual. Ia bertemu langsung dengan klien, mendengarkan kebutuhan mereka (misalnya, desain kemasan), dan ia sendiri yang membantu menginput order tersebut ke dalam website Sribu. "100 klien pertama kayak gitu... sampai kita pelan-pelan ya kayak gedein kita punya jumlah klien portfolio."
Misi Sosial: Membuka Pintu Rezeki
Lebih dari sekadar mengejar profit, motivasi Ryan semakin kuat ketika melihat dampak sosial dari Sribu. "Semakin saya masuk ke Sribu dan kita dapat nih order masuk ke website-nya kita. Habis itu ada freelancer yang ngambil order itu sampai akhirnya dia dapat income dari sana," kata Ryan. "Itu satu kepuasan tersendiri."
Melihat populasi Indonesia yang besar dan tingginya angka pengangguran saat itu (5-6%), Ryan menyadari bahwa Sribu memiliki peran krusial untuk membuka peluang kerja baru bagi talenta kreatif di seluruh negeri.
Dari Nol ke Ratusan: Pelajaran Berat dari Scaling dan Layoff
Enam bulan setelah website Sribu diluncurkan (meski masih sangat sederhana dengan hanya 5-6 halaman), timnya mendapat pendanaan pertama. Tantangan baru pun muncul: scaling tim.
Kesalahan Perekrutan Awal
Sebagai first-time entrepreneur dan mantan insinyur, Ryan mengakui banyak kesalahan yang ia lakukan dalam membangun tim. "Sempat tim kita itu berkembang sampai kurang lebih 15 orang tapi habis itu sales-nya enggak berkembang," akunya.
Ia terlalu sibuk mencari investor baru, sementara operasional internal menjadi berantakan. Kondisi keuangan memburuk, memaksa Ryan mengambil keputusan sulit: layoff. Tim dipangkas dari 15 menjadi 5 orang. "Jadi banyak up and down-nya ya di awal-awal, even sampai sekarang tantangan juga masih banyak."
Fokus pada Nilai Jual Unik: Cepat dan Bebas Resiko
Setelah melalui fase sulit, Sribu menetapkan dua pilar utama yang menjadi unique selling proposition (USP) mereka:
- Kecepatan: Klien dapat menemukan penyedia jasa yang cocok dalam hitungan menit (target awal: 5 menit).
- Bebas Resiko: Membangun kepercayaan di pasar yang masih ragu bertransaksi online.
Sribu mengimplementasikan sistem Escrow (rekening bersama) untuk menjamin keamanan transaksi. Klien membayar ke Sribu, dan Sribu baru akan membayar freelancer setelah pekerjaan selesai. Model bisnis ini, dengan mengambil fee 10% hingga 30% dari transaksi, berhasil menarik minat pasar.
"Kami mau fokus ke gimana kita bisa dalam hitungan menit klien kita langsung dapat penyedia jasa yang cocok dan apakah bisa tanpa resiko?"
Ujian Terberat: COVID-19 dan Seni Survive
Ketika Sribu sudah menemukan ritme dan mencapai pertumbuhan yang stabil pada periode 2016-2020, badai COVID-19 datang menghantam. "Pas kena COVID banyak yang bilang sama saya, 'Oh, pas COVID harusnya freelancer naik dong.'"
Ryan menjelaskan bahwa marketplace memiliki dua sisi:
- Supply (Freelancer): Ini memang naik karena banyak orang mencari kerja.
- Demand (Klien): Ini anjlok. Klien utama Sribu, seperti restoran, hotel, travel agent, dan fashion, terpaksa tutup atau menahan pengeluaran.
"Waktu itu sempat tuh dari 2020 sampai 2022 goal-nya tuh cuma survive aja gitu. Kita sampai kayaknya waktu itu sales ada drop sampai 60-65%."
Strategi Bertahan di Tengah Ketidakpastian
Fase ini adalah yang terberat, ditandai dengan ketidakpastian total. Ryan dan manajemen mengambil langkah drastis:
- Cost Cutting: Tim dipangkas dari sekitar 35 orang menjadi 13-14 orang.
- Pengorbanan Manajemen: Manajemen bahkan tidak mengambil gaji sama sekali (no salary) untuk memastikan perusahaan bisa bertahan (cash flow).
- Pivot Kebutuhan Pasar: Sambil menunggu kabar baik, tim Sribu berfokus untuk memahami market baru. Mereka menyadari kebutuhan klien bergeser ke ranah digital marketing, video creation, dan education video. Sribu segera mengarahkan freelancernya ke kategori jasa-jasa yang sedang naik daun ini.
"Hidup di situasi yang ketidakpastian tuh paling susah," kata Ryan.
Seni Scaling: Tantangan yang Berubah di Setiap Level
Bagi Ryan, tantangan terberat dalam membangun perusahaan justru ada di tahap scaling. "Tiap kali kita build a company dari 0 ke 10, 10 ke 100, 100 ke 1000, tantangannya beda-beda semua," ujarnya.
Scaling adalah proses mengubah cara kerja agar perusahaan bisa tumbuh ke level berikutnya. Cara yang berhasil dari 0 ke 100 klien (cara A) tidak akan berhasil untuk tumbuh dari 100 ke 1.000 klien (cara B).
"Cara B itu mungkin keluarin duit banyak. Kita siap enggak untuk keluarin itu? Karena bisa jadi udah keluarin duit belum tentu berhasil. Nanti udah dapat nih di scale 1.000, dari 1.000 ke 10.000 beda lagi. Kita mesti cari investor misalnya."
Kunci untuk melewati tahap scaling yang berulang adalah terus belajar. Ryan percaya, di titik mana seorang entrepreneur atau profesional berhenti belajar, di situlah ia akan kesulitan.
Sribu Hari Ini: Ekosistem dari Building hingga Growing
Hari ini, Sribu telah menangani kurang lebih 50.000 klien di Indonesia dan memiliki komunitas sekitar 1,3 juta freelancer. Platform ini tidak hanya menjadi tempat mencari desainer logo, tetapi juga menjadi "mesin" yang mendukung bisnis dari tahap building hingga growing.
Sribu menawarkan berbagai jasa, mulai dari desain grafis, pembuatan website, aplikasi, video, hingga jasa marketing lainnya, dengan total sekitar 200 subkategori dan 30.000 jasa yang ditawarkan freelancer.
Sistem Kontes: Solusi untuk Klien yang Masih Ragu
Selain model one-to-one antara klien dan freelancer yang disukai, Sribu juga menawarkan sistem kontes atau sayembara.
- Klien membayar untuk kontes desain (misalnya, desain label makanan). Banyak desainer ikut lomba.
- Klien mendapat ratusan pilihan output.
- Klien memilih dan membeli desain yang paling disukai.
Model kontes ini kembali memperkuat USP Sribu: kecepatan (mendapat banyak pilihan dalam waktu singkat) dan bebas resiko (hanya membayar untuk desain yang disukai).
Harapan dan Langkah Selanjutnya: Meluas ke Asia Tenggara dan Adopsi AI
Melihat ke depan, Ryan dan Sribu memiliki tujuan besar:
- Menjadi Freelance Marketplace Nomor 1 di Asia Tenggara.
- Meningkatkan Pendapatan Freelancer: Membantu komunitas freelancer meningkatkan income bulanan mereka, misalnya dari rata-rata Rp 5 juta menjadi Rp 10-15 juta.
- Inovasi Teknologi: Mengintegrasikan fitur-fitur Artificial Intelligence (AI) untuk semakin mempercepat proses pencarian jasa dan output kreatif, selaras dengan konsep cepat dan bebas resiko.
Saat ini, fokus utama adalah tap in ke pasar Asia Tenggara dan global untuk memberikan peluang kerja yang lebih luas bagi freelancer Indonesia.
Kunci Sukses: Persistensi dan Keberanian untuk Mencoba
Di akhir wawancara, Ryan membagikan dua kunci utama yang ia pelajari selama perjalanannya:
- Persistensi (Pantang Menyerah): "Saya penasaran orangnya, kayaknya masih bisa deh, kayaknya ada jalan keluarnya deh. Menurut saya itu hal yang setiap entrepreneur perlu punya."
- Mulai Saja (Keberanian Mencoba): "Enggak ada momen yang oh saya udah umur segini makanya saya better jangan jadi entrepreneur. Enggak kayak gitu sih. Menurut saya kalau coba aja tuh udah sukses."
Ryan menegaskan bahwa keberhasilan sejati bukanlah hanya pada hasil akhirnya, melainkan pada proses pembelajaran yang didapat dari mencoba.
"Enggak usah pusing soal pada akhirnya sukses atau enggak, tapi saya yakin kalau kamu coba buat bisnis, jadi entrepreneur, itu pasti udah dapat banyak hal."
Sribu bukan hanya platform bisnis bagi Ryan, tetapi juga manifestasi dari visi seorang lulusan Amerika yang berani melihat peluang di tempat yang belum terjamah, menciptakan pasar crowdsourcing kreatif, dan mengubah tantangan menjadi kesempatan kerja bagi jutaan talenta di Indonesia.
Kisah Ryan Gondokusumo adalah bukti nyata bahwa inovasi tidak selalu berarti bersaing di pasar yang sudah ramai. Terkadang, keberanian untuk melihat celah, menciptakan solusi baru, dan membangun pasar dari nol adalah kunci menuju kesuksesan yang berkelanjutan. Bagi para wirausahawan dan anak muda di seluruh Indonesia, ini adalah panggilan untuk tidak takut mencoba, untuk gigih dalam menghadapi setiap rintangan, dan untuk terus belajar dari setiap jatuh bangun.
Jadikan setiap tantangan sebagai peluang untuk bertumbuh, dan ingatlah bahwa setiap langkah kecil menuju impian Anda adalah setengah dari keberhasilan.
Apa "samudra biru" yang siap Anda ciptakan di pasar Indonesia, dan langkah pertama apa yang akan Anda ambil hari ini untuk mewujudkannya? tulis jawaban anda di kolom komentar. terima kasih.
Sumber : Ch. ytb. Naik Kelas : Lulusan Amerika Sukses Ciptakan Bisnis Tanpa Pesaing Di Indonesia





Komentar
Posting Komentar