Tekad Baja dari Dapur Rumah, Kisah Bisnis Sukses Bakpia Ahmad Family Trenggalek, Jatim

Steel Determination from the Home Kitchen: The Success Story of Bakpia Ahmad Family in Trenggalek, East Java

Bakpia Ahmad Family Trenggalek

Di tengah hiruk pikuk pasar oleh-oleh modern, sebuah nama menonjol di Kabupaten Trenggalek: Bakpia Ahmad Family. Lebih dari sekadar camilan, bakpia ini adalah simbol nyata dari perjuangan, ketulusan, dan keyakinan teguh sepasang suami-istri, Fandi Ahmad dan Siti Zubaida. Berangkat dari keterbatasan hidup dan modal awal yang sangat minim, mereka membuktikan bahwa mimpi besar bisa diraih, asalkan dibarengi dengan tekad baja dan prinsip hidup yang kuat.

"Orang lihat rumah besar, pesanan banyak, tapi mereka tidak tahu betapa panjang dan berat prosesnya," ucap Ibu Siti, mengenang kembali perjalanan panjang mereka. Kisah mereka adalah cerminan dari filosofi Jawa 'Sawang Sinawang', di mana orang luar hanya melihat 'enak'-nya saja, tanpa mengetahui jatuh bangunnya. 

Masa Kecil yang Mengukir Tekad: Belajar dari Keterbatasan

Dalam sebuah wawancara di saluran youtube PecahTelur, Siti Zubaida mengungkapkan Perjalanan hidup  adalah fondasi utama yang membentuk karakternya. Tumbuh dalam keluarga yang serba kekurangan, masa kecilnya jauh dari kata mudah.
"Kalau orang bilang masa kecil itu masa kecil terburuk lah, Mas. Aku untuk beli polpen aja itu susah, Mas. Untuk sekolah itu," kenang Ibu Siti dengan nada haru.

Demi bisa terus belajar, ia harus berjuang dengan caranya sendiri. Buku-buku sekolah bekas ia kumpulkan, mengambil halaman yang masih kosong untuk disambung dan dipakai kembali di semester baru. Beras pun tak selalu tersedia di rumah. Kakak sulungnya terpaksa putus sekolah demi bekerja, sementara kakak kedua menikah muda. Realita ini justru membangkitkan tekadnya. "Aku ndak mau iki, aku mosok aku lulus SMP. Aku mek guru nganggur. Aku pengin kuliah, aku pengin kerja," ujarnya, menegaskan cita-citanya.

Di masa sulit itu, sang ibu harus berkorban besar, merantau menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Malaysia. "Mungkin kalau ibuku ndak kerja di Malaysia, aku ndak bakal sekolah SMA," ucapnya penuh syukur. Pengorbanan inilah yang memicu semangat juang Siti, menjadikannya pribadi yang ulet dan pantang menyerah.

Setelah lulus SMA pada usia 21 tahun, Siti memutuskan untuk merantau ke Pasuruan, Jawa Timur. Di sana, ia bekerja dan bertemu dengan Fandi Ahmad, yang juga merupakan perantau. Tempat kerja mereka bukanlah sekadar tempat mencari nafkah, melainkan sebuah 'sekolah kehidupan' yang membentuk karakter dan mental mereka.

Di Pasuruan, mereka mendapat ilmu, kedisiplinan, dan yang paling berharga, wejangan hidup dari seorang guru yang mereka anggap seperti orang tua sendiri. "Dulu kan saya kan di sana kan bisa dikatakan sopir, ya lebih ke antar-antar gitu," cerita Pak Fandi. Setiap hari, saat mengantar, sang guru selalu memberi wejangan, bahkan menasihati tentang masa depan dan pernikahan. "Udah kayak orang tua sendiri. Dulu kan saya itu hampir tiap hari sama beliau," tambahnya. Guru inilah yang menanamkan nilai-nilai kejujuran, kegigihan, dan juga memberi dorongan kunci: "Kamu loh wis bisa bikin sendiri. Kenapa ndak nyoba bikin sendiri? Di Trenggalek loh belum ada Mbak Pia."

Bakpia Ahmad Family Trenggalek

Bakpia Ahmad Family Lahir: Awal dari Rp500.000 dan Oven Kecil

Dorongan dari guru dan keluarga akhirnya membulatkan tekad mereka. Setelah menikah, pasangan ini memutuskan untuk kembali ke kampung halaman Ibu Siti di Desa Gembleb, Kecamatan Pogalan, Trenggalek. Mereka memutuskan untuk memulai usaha bakpia rumahan, memanfaatkan ilmu yang didapat dari Pasuruan.

Tanggal 1 Januari 2017 menjadi titik awal Bakpia Ahmad Family berdiri. Modal awal yang dimiliki sungguh tak terbayangkan kecilnya untuk memulai sebuah bisnis produksi: hanya Rp500.000.
"Pertama itu dulu cuma pegang uang Rp500.000. Jadi Rp500.000 itu dibikin untuk beli kayak bahannya yang untuk satu kali produksi maksudnya itu diputar terus diputar gitu," jelas Ibu Siti. Uang tersebut hanya cukup untuk bahan baku awal, sementara peralatan yang digunakan hanyalah alat-alat sederhana yang sudah ada di dapur, termasuk sebuah oven kecil.

Proses awal penuh tantangan. Mereka harus melakukan beberapa kali revisi resep karena tepung yang biasa digunakan di Pasuruan tidak tersedia di Trenggalek. "Masih terbatas, Mas, bahan bakunya. Bahkan, Teman-teman itu masih belanja di Pasuruan kadang. Kayak coklat, kayak tepung-tepung itu di Trenggalek belum ada. Ambilnya di Pasuruan," kata Pak Fandi, yang juga dimanfaatkan sebagai momen untuk bersilaturahmi dengan guru mereka.

Bakpia Ahmad Family Trenggalek

Strategi 'Jemput Bola' dan Keajaiban di Pom Bensin

Awalnya, produksi masih sangat terbatas. Bakpia dikemas dengan mika, belum menggunakan kotak kardus yang sekarang. Mereka menerapkan strategi 'jemput bola' dengan segala cara:

  • Titip Jual: Produk dititipkan ke warung-warung dan sekolah.
  • Jualan Keliling: Pak Fandi keliling menggunakan sepeda, membawa keranjang berisi bakpia.
  • Inisiatif di SPBU: Salah satu momen paling berkesan adalah saat mereka berjualan di pom bensin. "Malah laku, Mas. Di pom bensin malah laku banyak di situ," kenang Ibu Siti. Penjualan di tempat istirahat seperti SPBU ternyata jauh lebih efektif dibanding dari rumah ke rumah.

Setelah dua bulan berjalan, pesanan mulai meningkat. Momen titik baliknya adalah saat mereka mendapat pesanan 200 kotak bakpia kering. Ibu Siti menyadari, "Ndak mungkin iki aku pakai open kecil ndak bakal selesai." Dengan prinsip tidak ingin berutang ke bank, mereka bergotong royong: meminjam uang dari adik, tetangga yang baru direkrut sebagai karyawan pertama, dan uang tabungan sendiri untuk membeli oven gas yang lebih besar.

Ujian COVID-19 dan Kelahiran Inovasi Produk

Prinsip anti-utang mereka teruji saat pandemi COVID-19 melanda. Orderan terhenti, produksi nyaris mati suri. "Setelah COVID beberapa bulan gitu ndak kerja, libur gak ada pesanan. Aku cuma bikin sedikit kalau misalkan nanti ada orang beli paling buat cemilan gitu loh. Berdoa aja lah moga-moga ada yang beli," ujar Ibu Siti.

Di tengah kondisi ekonomi yang lumpuh, musibah keluarga datang bertubi-tubi: ibu Siti kecelakaan patah tulang, Pak Fandi juga mengalami kecelakaan saat menjenguk, dan kehamilan Ibu Siti berakhir dengan operasi melahirkan.
"Ya Allah kok gini banget, Ya Allah kok aku dicoba kayak gini. Wes corona ndak kerja ndak ada pemasukan, mau lahiran juga... jadi banyak banget uang yang harus keluar akhirnya," kenangnya.

Namun, titik terendah adalah titik balik. Masa-masa sepi selama pandemi diisi dengan eksperimen. "Aku juga pas waktu COVID itu nyoba-nyoba bikin variasi baru bolen ini," kata Ibu Siti. Produk baru pun lahir:

  • Bolen Ahmad Family
  • Pai Susu Ahmad Family

"Alhamdulillah jalan ramai juga sekarang. Alhamdulillah ada berkahnya juga COVID," tambahnya. Setelah COVID mereda, permintaan justru membludak, terutama untuk acara tahlilan, 100 hari, dan 1000 hari, seolah ada hikmah di balik ujian.

Bakpia Ahmad Family Trenggalek

Filosofi Usaha: Murah Meriah dan Kekeluargaan

Kini, Bakpia Ahmad Family telah berkembang pesat. Di bulan-bulan ramai (misalnya saat musim pernikahan), mereka mampu memproduksi hingga 5.000 kotak bakpia dalam sehari, bekerja hingga larut malam. Omzet mereka pun fantastis, mencapai Rp150 juta lebih di masa ramai.

Namun, di balik kesuksesan tersebut, pasangan ini teguh memegang prinsip yang diajarkan oleh pengalaman hidup mereka:

1. Harga Terjangkau untuk Semua Kalangan

Meskipun sudah sukses, mereka enggan menaikkan harga tinggi. Prinsip mereka adalah tidak mengambil untung berlebihan."Sebenarnya kita ndak ambil untung banyak-banyak, Mas. Soalnya kita kan juga di daerah pedesaan," ujar Pak Fandi. Mereka hanya mengambil keuntungan sekitar Rp1.000 per kotak. Pertimbangannya sangat mulia: "Kita lebih menekankan untuk yang menengah ke bawah. Jadi yang kelas tinggi pun bisa beli karena murah. Jadi yang bawah bisa merasakan juga."

Mereka juga menjaga kualitas rasa sebagai yang utama. "Jangan merubah rasa. Merubah rasa itu yang paling utama," tegas Ibu Siti. Mereka bahkan rela merembukkan kenaikan harga dengan alumni Pasuruan lainnya agar kompak dan tidak merugikan konsumen.

2. Karyawan adalah Keluarga (Dulur Dewe)

Kunci sukses terbesar mereka, selain kualitas produk dan kejujuran, adalah karyawan. Mereka mempekerjakan puluhan karyawan, kebanyakan adalah ibu rumah tangga yang ingin menambah penghasilan. "Mereka tak anggap dulurku dewe," kata Ibu Siti.

Pengalaman pahitnya saat menjadi karyawan dulu membuat Ibu Siti bertekad memperlakukan karyawannya dengan baik. Ia menciptakan suasana kerja yang santai dan penuh canda, menjauhi sikap 'aku loh bosmu'.

"Aku penginnya kalau jadi karyawan itu diginiin gitu dulu. Jadi setelah aku bisa kayak gini ya aku gituin karyawanku sesuai apainanku dulu. Enak yo kerja neng kene bos. Penakan bos, penak. Asiklah. Enjoy lah," tuturnya.

Bahkan, saat gajian pun, mereka memprioritaskan hak karyawan. "Mendingan kalau pas gajian kalau aku belum ada uang, yo wis tak kasihkan uang itu untuk mereka semua. Mendingan aku gak pegang uang," ungkap Pak Fandi.

Bakpia Ahmad Family Trenggalek

Cita-Cita dan Pesan Abadi

Kini, dengan segala pencapaiannya, Fandi dan Siti masih menyimpan impian besar. Pak Fandi ingin menunaikan ibadah umrah berdua dengan istrinya. Sementara Ibu Siti ingin mengembangkan usaha mereka lebih jauh lagi.

"Aku pengin banget usaha iki bisa lebih maju. Misalkan kita punya toko di tempat yang ramai kayak di tempat wisata. Jadi kita punya toko di situ, pusat oleh-oleh kayak gitu, Mas," harapnya.

Kisah Bakpia Ahmad Family adalah pengingat abadi bahwa kesuksesan sejati tidak diukur dari seberapa besar modal awal, melainkan dari seberapa besar tekad, kejujuran, ketulusan melayani pelanggan, dan rasa syukur yang dimiliki. Dari modal Rp500.000, oven kecil, dan masa kecil yang penuh perjuangan, pasangan ini telah menorehkan tinta emas: mengubah nasib, memberi manfaat bagi puluhan keluarga karyawan, dan membuktikan bahwa dari desa kecil di Trenggalek, sebuah mimpi bisa terbang tinggi ke luar kota.

Sumber : Ch.Ytb. PecahTelur
Tiru Usaha Bos, Mantan Karyawan Sukses Punya Rumah Produksi Sendiri

Komentar