Jejak Perjuangan Khatarine Paula, Bangkit dari Kebangkrutan dan Godaan Pinjol
Khatarine Paula adalah nama di balik brand lauk instan kemasan sehat yang kini mulai dikenal luas: Ayam Suwer Cap Sayang. Didampingi oleh putri pertamanya, Alya Zahira, Bu Paula sapaan akrabnya membagikan sebuah kisah perjuangan yang jujur, menyentuh, dan penuh liku pada saluran youtube Pecah Telur beberepa waktu lalu. Kisahnya mulai dari tekanan hidup, cobaan di tengah pandemi, hingga godaan pinjaman online di saat terdesak, setiap fase menjadi pelajaran berharga dalam membangun bisnisnya dari nol. Mari kita simak kisahnya...
Awal Mula dan Liku-Liku Sebelum Ayam Suwer
Khatarine Paula mengakui bahwa dirinya bukanlah lulusan akademis yang mulus. Kuliah sekretaris bisnisnya harus terhenti di tengah jalan karena berbagai alasan, termasuk perpindahan keyakinan dan pernikahan. Namun, satu hal yang tak pernah padam adalah semangat berdagangnya.
“Saya ini kan suka jualan, Mas. Dari waktu SMA itu saya sudah jualan,” kenangnya.
Jejak dagangnya dimulai dari menjual peralatan tulis di kampus, kemudian merambah ke produk kesehatan seperti koyo pelangsing dan korset. Ia terinspirasi dari ayahnya yang seorang salesman door-to-door, namun ia menerapkannya secara online.
“Saya lakukan door-to-door itu via online,” ujarnya, menjelaskan strateginya mengirim DM (pesan langsung) satu per satu di Facebook.
Sistem door-to-door online ini sukses besar. Dari sekadar reseller, ia bahkan berhasil menjadi importir dan kemudian beralih ke produk kecantikan dan kesehatan lainnya. Namun, di balik kelancaran bisnis, tekanan hidup dan ujian datang bertubi-tubi, terutama setelah ia memutuskan berpindah keyakinan.
“Perlakuan saya itu beda. Termasuk keluarga, itu banyak tekanan,” kisahnya. Ujian itu bahkan merambat ke hatinya, seperti godaan untuk kembali ke kondisi dan tempatnya yang dulu dengan iming-iming materi.
Ujian Terberat: Kelahiran Alya dan Tekanan Batin
Ujian terberat datang ketika Alya Zahira lahir. Alya lahir dengan kondisi yang tidak sempurna, tidak bisa menangis, dan mengalami muntah hebat setiap kali diberi ASI. Puncaknya, setelah dibawa ke rumah sakit besar di Surabaya, Alya didiagnosis mengidap atresia duodenum, sebuah kondisi langka di mana terdapat penyekat di antara usus dan lambung.
“Dokternya bilang itu satu dari seribu anak lahir,” kata Bu Paula, dengan nada getir.
Kondisi ini memaksa Alya harus segera dioperasi. Di tengah kegelisahan mengumpulkan biaya, tekanan batin kembali menghantam. Bu Paula disalahkan, disebut "salahnya Mamanya itu sudah hamil kok kuliah," atau disudutkan bahwa kondisi ini adalah "akibatmu memilih jalanmu yang sekarang."
Namun, di tengah kesulitan, pertolongan datang tak terduga. Komunitas online-nya, "Man Jadda Wajada," memberikan dukungan doa. Bahkan, beberapa pelanggan lamanya tiba-tiba mengirimkan uang ke rekeningnya, hingga terkumpul jutaan rupiah yang sangat dibutuhkan.
Pada hari operasi, Bu Paula menandatangani surat persetujuan operasi yang isinya mencakup risiko terburuk, sebuah momen yang dilakukan sambil menahan tangis. Suaminya yang bekerja pun tak mampu menahan diri, memilih berdiam di masjid hingga operasi selesai. Ia sendirian menghadapi momen paling menentukan itu.
"Ya sudah itu selesai operasi, alhamdulillah lancar," ucapnya penuh syukur.
Walaupun lancar, pasca-operasi Alya harus menjalani perawatan intensif. Ia bahkan tidak bisa tidur di kasur selama satu setengah tahun, membuat Bu Paula tidak bisa kemana-mana dan harus fokus merawat. Untuk tetap menghasilkan, ia kembali berjualan online yang bisa dikerjakan sambil merawat anak.
Dari Kafe ke Ayam Suwir: Jatuh Bangun Bisnis di Tulungagung
Tantangan keuangan tak pernah berhenti. Setelah bertahun-tahun merintis produk skincare herbal, persaingan makin ketat. Ia mencoba berbagai jenis jualan lain, mulai dari minuman, puding, hingga celana kolor. Puncaknya, sang suami sempat down dan keluar dari pekerjaan, membuat Bu Paula menjadi tumpuan utama keluarga.
Suatu hari, dengan sisa ayam seperempat kilo di kulkas, ia bingung hendak memasak apa. Teringat suaminya orang Lombok/Mataram yang suka pedas dan anaknya tidak, ia memutuskan membuat ayam suwir dengan rasa berbeda: Original (gurih) dan Pedas.
Saat disajikan, suaminya berkata, “Wah, ini enak, loh!”
Berbekal testimoni itu, Bu Paula memotret masakan seadanya dan mem-posting-nya di grup kuliner. Ia memberi nama Ayam Suwir Maratam (gabungan Mataram, Tulungagung, dan Surabaya). Reaksi yang didapat sungguh di luar dugaan.
“Ndak sampai satu hari, Mas, komennya 143! Waduh, Masya Allah sampai madeg (terdiam),” serunya terkejut.
Meskipun suaminya sempat ragu karena terbiasa menjual barang simple, melihat tingginya permintaan, Bu Paula meyakinkan suaminya. Keesokan harinya, mereka langsung membeli 40 kg ayam untuk dimasak. Dibantu suaminya yang ternyata lebih mahir meracik bumbu, mereka menyempurnakan resep: tanpa MSG (karena Bu Paula alergi), fokus pada bawang, terasi, dan rempah lain. Mereka menemukan kunci kelezatan pada bawang yang diperbanyak dan kemiri yang disangrai.
Lahirnya "Cap Sayang" dan Pergulatan Kafe Pandemi
Nama "Cap Sayang" lahir dari momen personal. Saat sedang menyetrika, ia melihat suaminya memasak dan kedua anaknya bermain.
“Wes tak kasih nama Cap Sayang aja, ya,” ujarnya. Logo yang ia minta dibuatkan pun berupa dua hati, melambangkan kasih sayang keluarga.
Setelah sukses dengan Ayam Suwer, ia memutuskan untuk kembali ke Tulungagung atas saran ibunya untuk menghindari kelelahan pindah kontrakan berkali-kali. Di sana, ia membuka warung food court dan menjual Ayam Suwer. Di awal, rating di Google-nya bagus, tetapi banyak yang mengeluhkan harganya mahal. Hal ini disebabkan biaya HPP (cost of goods sold) yang membengkak karena ia belum bisa membeli bahan baku seperti ayam dalam jumlah besar.
Ia mencoba menambah menu hits, Ayam Geprek, yang sempat ramai selama dua bulan. Namun, badai sesungguhnya datang: Pandemi COVID-19.
Saat terjadi larangan makan di tempat, omsetnya anjlok parah. Dari minimal empat transaksi sehari, ia bisa tidak mendapatkan pembeli sama sekali selama tiga hari. Gaji karyawan tidak mampu ia bayar penuh.
“Gaji karyawan kan jalan terus... kita lihat pemasukannya berapa, nanti kita bagi, wis Sebagian aku ndak usah yang penting jalan terus,” katanya, menggambarkan solidaritas di tengah krisis.
Bahkan, pernah dua orang karyawannya yang sedang makan di warung ditindak Satpol PP, disuruh menyapu jalan, dan diberi wejangan agar tidak buka. Momen itu menjadi titik balik.
Bu Paula memutuskan untuk menutup layanan makan di tempat dan beralih total ke pengiriman dengan layanan gratis ongkir. Ia pun mulai memikirkan kembali bisnis Ayam Suwir-nya.
“Ini yang bisa satu-satunya yang bisa kita cari celahnya untuk memasukkan,” tekadnya.
Ia memutuskan untuk mengemas sambal andalan kafenya dan fokus mengembangkan Ayam Suwer Cap Sayang menjadi produk instan kemasan yang tahan lama. Produk Ayam Suwirnya dirancang agar multi saji, bisa langsung disantap, atau diolah lagi, mengatasi kendala kebingungan konsumen yang mengira produknya adalah abon atau serundeng.
Modal Terakhir dan Ekspansi Varian
Demi membesarkan bisnis Ayam Suwir, Bu Paula mengambil keputusan yang berat: menjual semua perkakas warungnya untuk dijadikan modal. Dari modal itu, ia menambah varian baru dari original dan pedas menjadi super pedas. Ia juga mulai menata sistem pemasarannya menjadi reseller, agen, dan distributor. Di tengah kesulitan modal, ia mencoba sistem share holders kecil-kecilan.
“Saya tawarin supaya mereka itu punya saham di kita,” jelasnya.
Dari target yang tak sampai lima orang, ia berhasil mengumpulkan modal Rp60 juta. Uang tersebut digunakan untuk membeli peralatan penting seperti mesin vacuum sealer yang lebih baik, sehingga produk yang tadinya hanya tahan 3 minggu kini bisa bertahan hingga dua setengah bulan tanpa pengawet dan MSG, sesuai komitmennya.
Ujian Terberat Kedua: Godaan Pinjaman Online
Perkembangan bisnis Ayam Suwer yang seharusnya menjadi angin segar, ternyata melahirkan masalah baru: masalah operasional, karyawan, dan yang paling krusial, manajemen keuangan di tengah harga pasar yang fluktuatif.
"Harga pasar itu kan fluktuatif, ya Mas, khususnya ayam dan cabai," jelasnya.
Cabai, misalnya, pernah di harga Rp.25.000, namun melonjak drastis hingga Rp.130.000. Fluktuasi ini membuat perhitungan HPP dan laba tidak stabil. Ia tidak punya dana cadangan atau modal yang cukup untuk nyetok bahan baku dalam jumlah besar saat harga murah. Puncaknya terjadi pada bulan Februari lalu.
"Celengan anak saya dipakai modal... Saya buka waktu itu benar-benar enggak ada uang, Mas," ungkapnya, mengakui terpaksa menggunakan uang yang seharusnya tidak disentuh.
Masalah keuangan meruncing ketika ia harus membayar gaji karyawan sebesar Rp3 juta, sementara saldo di rekeningnya hanya tersisa Rp.200.000. Saat itu, suaminya sedang bertugas di luar kota, menambah rasa kesendirian.
Di tengah kelelahan mental, ia pergi bersama keluarga besar suaminya, yang saat itu menyewa vila untuk berlibur. Di saat semua orang bersukacita, Bu Paula masuk ke kamar dan menangis.
“Enggak tahan, gitu loh, Mas. Sudah besok ini loh, Mas, saldo saya Rp.200.000, gaji karyawan Rp3 juta yang harus dibayarkan,” isaknya.
Dalam keadaan tertekan, ia mencoba menawari produk ke pelanggan lama, namun tak ada yang menyambut. Saat itulah, godaan terbesar muncul.
Ketika ia hendak posting di Instagram, muncul iklan pinjaman online (pinjol).
“Lah kok pas saya mau posting Instagram, di iklan… saking bingungnya kan, Mas. Ini gimana saya pinjam ke teman waktu itu ndak ada yang punya,” ceritanya.
Ia sudah mengisi data, nama, email—hanya tinggal satu klik, dan saldo Rp3 juta akan masuk ke rekeningnya, menyelesaikan masalah gajinya seketika.
“Sebenarnya tinggal klik aja saldo masuk, Mas. Selesai masalah saya. Tapi batin saya ini ndak mau,” tegasnya.
Tangan Bu Paula gemetar di depan layar. Ia bolak-balik berbaring di kasur, berpikir keras. Akhirnya, ia memilih untuk salat, berdoa.
“Ya Allah, saya butuh uang Rp3 juta hari ini aja, Rp3 juta, gitu.”
Godaan itu berhasil ia tangkis dengan memohon pertolongan pada Sang Pencipta, menolak jalan pintas yang berpotensi merusak segalanya. Ia memilih bertahan dengan etika dan prinsipnya.
Fokus Baru dan Harapan Masa Depan
Saat ini, Bu Paula telah memindahkan manajemen dan distribusi Ayam Suwer Cap Sayang ke Surabaya, Jawa Timur. Sementara itu, lokasi produksi dan store offline masih dapat dikunjungi di Jl. Pahlawan Nomor 97, Kedungwaru, Kab. Tulungagung, Jawa Timur.
Untuk mengatasi kendala modal dan HPP yang tinggi, Bu Paula menciptakan sistem baru: kolaborasi reseller. Ia mengajak seluruh reseller untuk order massal dan membagi laba dengan transparan, menciptakan sistem subsidi silang harga untuk menjaga stabilitas jual. Reseller yang tadinya individual kini dikelompokkan berdasarkan wilayah (misalnya Jakarta, Bekasi, Depok, dan Jawa Tengah), untuk mempermudah distribusi dan menekan biaya kirim.
Penjualan brand Cap Sayang, yang kini merambah ke produk sambal, masih didominasi oleh online (sekitar 70-75%), namun porsi offline mulai bertumbuh, terutama berkat jaringan pertemanan di sekolah Alya dan adiknya di Surabaya. Dalam kondisi stabil, Cap Sayang mampu menjual 300 hingga 500 packs per bulan, dengan sebagian besar penjualan berasal dari reseller dan agen (65%).
Melalui setiap liku yang telah dilalui, mulai dari penyakit Alya, kebangkrutan kafe, hingga godaan pinjol, Khatarine Paula tidak hanya menjual lauk instan; ia menjual sebuah komitmen. Komitmen pada produk sehat tanpa MSG dan pengawet, serta komitmen pada kesejahteraan timnya.
“Saya berharap bisnisnya dapat semakin berkembang bukan hanya menjadi home industry, tapi memiliki rumah produksi sendiri sehingga bisa lebih mensejahterakan karyawannya dan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya,” tutupnya, memancarkan aura optimisme dari seorang pejuang bisnis yang tak kenal menyerah.
Kesimpulan
Kisah perjuangan Khatarine Paula dan Ayam Suwer Cap Sayang adalah bukti nyata tentang ketahanan, inovasi, dan komitmen yang kuat dalam berbisnis. Dari tekanan pribadi dan sosial pasca-perpindahan keyakinan, cobaan berat saat kelahiran putri pertamanya, Alya, hingga kebangkrutan kafenya akibat pandemi, Bu Paula menunjukkan semangat pantang menyerah. Ia berhasil mengubah sisa ayam di kulkas menjadi peluang bisnis yang kini meluas hingga berbagai daerah.
Dengan menjual seluruh perabotan kafe sebagai modal awal, ia berkomitmen menciptakan produk lauk instan yang sehat, tanpa MSG, dan tanpa pengawet. Yang paling menginspirasi adalah bagaimana ia berhasil menangkis godaan pinjaman online di saat krisis finansial terburuk, memilih untuk berjuang dengan kejujuran dan keyakinan. Ayam Suwer Cap Sayang bukan hanya sebuah brand makanan, tetapi representasi dari harapan dan tekad seorang ibu yang berjuang untuk menyejahterakan keluarganya dan membuka lapangan pekerjaan yang lebih luas. Perjuangannya menunjukkan bahwa dengan ketekunan dan prinsip yang teguh, kesulitan terbesar sekalipun dapat diubah menjadi pijakan untuk mencapai impian.
Setelah membaca kisah inspiratif Khatarine Paula, elemen mana dari perjuangannya mulai dari mengubah kegagalan kafe menjadi modal, menolak jalan pintas pinjaman online, atau menjaga kualitas produk tetap sehat yang paling memotivasi Anda dalam menghadapi tantangan bisnis atau kehidupan Anda sendiri? jawab di komentar.
Kisah ini telah diceritakan pad saluran youtube PecahTelur
Sumber : Lika-Liku Ujian Setelah Mualaf! Usaha Tidak Kunjung Jalan & Teman2 Menjauh!
0 Komentar