Kisah Bisnis Kue Semprong yang Beromset Miliaran, Inovasi Rasa dan Kapasitas Produksi Raksasa

Victor Tawarikh dan Jess Prisilia

"Loves Semprong": Kisah Cinta dan Kue Semprong yang Beromset Miliaran

Kita pacaran, ya kita pacaran. Kalimat sederhana ini menjadi pembuka dari sebuah kisah yang tak biasa. Bukan sekadar kisah asmara antara Victor Tawarikh dan Jess Prisilia, tetapi juga cikal bakal dari bisnis produsen kue semprong yang sukses: Love Semprong.

Berawal dari masa pacaran yang terjalin sejak 2000 hingga 2011, Victor dan Jess awalnya menjalani hubungan layaknya pasangan muda pada umumnya: nonton bioskop, nongkrong di kafe, dan bersenang-senang. Namun, teguran dari mami Jess menjadi titik balik. Teguran yang intinya mempertanyakan, "Kalian pacaran kok cuman buang-buang waktu? Senang-senang enggak jelas?"

Teguran itu menyadarkan mereka. "Aduh, iya ya. Kok kita pacaran kayak cuman nonton bioskop, kayak cuman nongkrong, ngobrol-ngobrol ke Starbucks, enggak ada juntrungannya," kenang Jess.

Sejak saat itu, mereka memutuskan untuk menginvestasikan waktu pacaran mereka untuk hal-hal yang bisa menunjang masa depan. Mereka tak ingin hanya have fun dan membiarkan waktu berlalu tanpa menghasilkan apa-apa. Mereka mulai berdagang bersama.

Dari Reseller Ikan Bandeng ke Produsen Kue Semprong

Sebelum Love Semprong lahir, pasangan ini sudah menunjukkan jiwa wirausaha. Mereka pernah menjadi reseller ikan bandeng di lingkungan kampus Victor, di Binus. "Saya ngambil di situ berdua, pernah ngambil bareng, terus kita jual-jualin lagi. Jadi reseller," cerita Victor. Bahkan Jess, yang punya latar belakang keluarga pengusaha, membantu mencetak brosur dan membagikannya ke pintu-pintu apartemen tempat ia tinggal.

Peluang yang lebih besar datang dari kue semprong. Jess, yang sedari kecil sering membantu neneknya membuat kue semprong, membawa kue buatan neneknya untuk Victor coba. "Ih, enak banget!" puji Victor. "Kita jualin, yuk," ajak Victor iseng. "Ya juga, ya. Yuk, kita jualin," sambut Jess serius.

Nama "Love Semprong" sendiri adalah pengingat akan awal mula bisnis ini. Semprong ini adalah hasil dari cinta mereka. "Makanya semprong ini hasil dari cinta kita. Lebaynya begitu, tapi memang benar kita nama Love itu ya karena dulu kita pas pacaran itu," jelas Jess.

Mereka menyadari potensi semprong Belitung resep nenek Jess yang rasanya "enak banget." Mereka bertekad, "Gimana kalau kita punya semprong, bikin sendiri, jadi produsen sendiri?"

Kue Semprong

Modal Nekat Rp 500.000 dan Drama ATM

Jiwa wirausaha Victor dan Jess didorong oleh hobi dan kebutuhan. Victor, yang kuliah dengan beasiswa, sudah menjalankan asuransi. Sementara Jess memang bercita-cita menjadi pengusaha.

Modal awal mereka benar-benar minim dan berkesan. Mereka sepakat untuk tidak meminta modal dari orang tua. Mereka menggunakan uang komisi asuransi Victor, yang jumlahnya kala itu hanya Rp 500.000.

"Saya ingat banget, kenapa ingat? Karena pada saat itu kan kalau uang asuransi kan enggak jelas ya, komisinya tuh turunnya jam berapa. Jadi pas kita bilang, 'Yuk, kita usahain aja yuk,' besoknya pas tanggal 25, tanggal 25 kan komisi turun tuh. Ketika tanggal 25 itu kita tuh pagi-pagi udah jalan ke Glodok untuk beli mesinnya. Mesinnya harganya Rp 250.000," kenang Victor.

Mereka harus menunggu komisi itu cair di Bank CIMB Niaga. Mereka berkali-kali mengecek ATM, sampai dicurigai satpam. "Sampai dicurigain satpam. Itu yang bikin kita ingat. Karena, 'Kok ini orang enggak jelas transaksinya apa? Enggak keluar-keluar bank?' Akhirnya kita ngomong, 'Pak, kita lagi nungguin komisi ini, mau ngambil duit,'" tambah Victor. Uang Rp 500.000 itulah yang digunakan untuk membeli mesin pertama.


Kue Semprong

Mengubah Resep Turun-Temurun Menjadi Standar Produksi

Tantangan berikutnya adalah standarisasi resep. Resep nenek Jess, layaknya resep tradisional, hanya mengandalkan "feeling." "Nih segini kelapa, carinya yang kecil. Bayangkan, kecil tuh sekecil mana? Terus santannya segini. Enggak, pokoknya ukurannya enggak jelas," ujar Jess.

Awalnya, percobaan mereka gagal total dan semprongnya hancur. Akhirnya, mereka meminta nenek Jess datang ke apartemen mereka. Mereka memvideokan seluruh proses pembuatan resep dari awal hingga akhir. Dari video inilah mereka membuat standar resep Love Semprong, dengan takaran yang jelas, yang menjadi kunci konsistensi produk mereka hingga kini.

Perjalanan Panjang Produksi dan Titik Hampir Menyerah

Perjalanan produksi Love Semprong sangat berliku dan penuh tantangan, mulai dari tempat tinggal hingga manajemen. Apartemen: Awalnya, mereka memanggang semprong di apartemen yang "panas banget." Rumah: Pindah ke rumah Victor, tetapi masih mengganggu. Kontrakan Petakan: Mereka mengontrak petakan tiga yang kecil dengan biaya Rp 500.000/bulan, namun tempat itu menjadi sangat padat menjelang hari raya. 

Kontrakan Rumah (Taman Jaya): Mereka memberanikan diri mengontrak rumah khusus untuk produksi, hingga akhirnya mereka menikah pada 2017. Rumah Beli Sendiri (Simpruk): Setelah menikah, mereka membeli rumah di Simpruk. Rumah ini disebut-sebut sebagai "rumah hoki" karena di sinilah Love Semprong mulai "meledak," mencapai omset miliaran. Namun, di "rumah hoki" itu pula mereka nyaris menyerah pada 2020.

"Law Semprong enggak nutup. Makanya saya sempat narik Grab/GoCar bertahun-tahun gitu," ungkap Victor. Semprong, kala itu, hanya ramai saat hari raya (Natal, Imlek, Lebaran). Di hari biasa, penjualannya turun drastis, tidak cukup untuk menutupi cicilan rumah tangga.

Pada 2020, mereka berdiskusi, "Ya sudahlah, kalau misalkan Law Semprong gini-gini aja, mendingan kamu kerja. Kita kan masih muda." Mereka berencana untuk mencoba satu tahun lagi. Jika tidak ada kemajuan, mereka akan membubarkan usaha dan mencari pekerjaan untuk pengalaman.

Momentum Pandemi: Beralih ke Digital Marketing

Tahun 2020, pandemi COVID-19 melanda. Victor terpaksa berhenti narik Grab karena khawatir dengan kesehatan anaknya yang masih bayi. Mau tak mau, mereka harus fokus pada Love Semprong.

Jess mulai mempelajari Instagram Marketing dan Instagram Ads. Victor belajar mengedit video sederhana dari foto-foto produk. Mereka membuat video iklan simpel berisi foto-foto produk dan tulisan "Welcome Reseller".

Iklan inilah yang menjadi titik balik Love Semprong. Mereka mendapatkan banyak reseller dari Instagram Ads, dan bisnis pun meroket. Di rumah Simpruk itu, karyawan mereka mencapai ratusan orang (sekitar 100), sampai harus membangun tiga lantai.

Victor Tawarikh dan Jess Prisilia

Drama Tetangga dan Urusan dengan Polda

Kenaikan pesat ini membawa masalah baru. Karyawan yang ratusan orang, ditambah kegiatan memanggang 24 jam sehari, membuat lingkungan rumah mereka terganggu. Puncaknya, mereka "didemo" (secara halus) oleh tetangga, yang khawatir akan kerumunan di masa pandemi.

"Secara enggak langsung, kan didemo lah. Maksudnya, dalam arti kata, 'Ya, lu jangan lama-lama lagilah di sini,' karena ganggu," kata Victor. Mereka sadar, sebagai pengusaha, tidak boleh egois, dan akhirnya berjanji pindah setelah Lebaran.

Saat pindah ke tempat produksi yang baru, izin PT dan PIRT mereka masih dalam proses. Tiba-tiba, polisi datang ke tempat baru mereka menanyakan izin edar. Victor harus dipanggil ke Polda untuk membuat BAP (Berita Acara Pemeriksaan), padahal saat itu ia sedang mengurus BPOM.

"Gara-gara semprong, saya dibawa ke Polda," ujar Victor, yang panik karena baru pertama kali berurusan dengan hukum. Namun, dengan sikap sopan dan penjelasan bahwa mereka sedang dalam proses legalitas, masalah itu dapat diselesaikan tanpa permintaan uang atau masalah lain. Kejadian ini menegaskan pentingnya legalitas dan tanggung jawab sebagai produsen.

Lahirnya Sistem Reseller dari Kebutuhan Pasar

Pertumbuhan Love Semprong sangat dipengaruhi oleh sistem reseller. Menariknya, sistem ini terbentuk secara alami dari permintaan pasar. Awalnya, Love Semprong sering membagi sampel di kantor-kantor. Pelanggan kantor ini sering membeli dalam jumlah besar (selusin, dua lusin) untuk teman-teman mereka, tetapi mereka tidak memberikan kontak teman-temannya ke Love Semprong.

"Terus, dia minta, 'Saya dapat untung apa?' Ya sudah, akhirnya harganya kita turunin," jelas Jess. Mereka memberikan diskon, di mana reseller bisa mendapat untung sekitar Rp 5.000 per toples.

Mereka menyadari: lebih menguntungkan mencari reseller daripada mencari customer eceran. Reseller membeli 12, 24, bahkan 60 toples sekaligus. Sejak itulah, mereka fokus mengembangkan sistem reseller, yang kini telah mencapai lebih dari 7.000 reseller.

Inovasi Rasa dan Kapasitas Produksi Raksasa

Keberhasilan Love Semprong juga terletak pada inovasi. Di awal, penjualan hanya 20 toples sehari, bahkan sering tidak ada orderan, karena rasanya hanya wijen, original, dan duren. Victor mendapat ide: semprong isi.

"Saya dari supermarket bawa selai, saya colek aja tuh. Terus pas saya colek, 'Ih, enak!' Terus tapi selainya enggak enak. Tapi pas dicobain sama semprong, kok enak?"

Sejak itu, mereka mengembangkan varian rasa dan mem-branding diri sebagai "pertama di Indonesia semprong ada isi-isinya." Mulai dari cokelat biasa, hingga kemudian Nutella, Ovomaltine, dan keju, kini Love Semprong memiliki 12 varian rasa yang membuat penjualan mereka terus menanjak.

Saat ini, Love Semprong memiliki kapasitas produksi di tempat barunya hingga 12.000 toples per hari. Pada momen Lebaran, permintaan selalu melebihi kapasitas, mencapai lebih dari 8.000 toples per hari dan membuat mereka harus close order sebulan sebelumnya. Omset mereka pada Lebaran tahun lalu menembus Rp 7 miliar lebih dalam satu bulan.

Kisah Cinta dan Kue Semprong

Visi ke Depan dan Kiat Sukses

Visi Love Semprong kini adalah menjadi salah satu perusahaan kue terbaik dan terbesar di Indonesia. Mereka berencana memproduksi kue-kue unik dan inovatif lainnya, seperti nastar dan lapis, untuk dijual oleh lebih dari 7.000 reseller mereka.

Victor dan Jess membagikan kiat sukses mereka untuk pasangan muda yang ingin berbisnis:

  1.  Berbisnis dengan Pasangan. Jangan Takut: Pasangan adalah orang yang paling mengerti kita, sehingga cenderung sevisi.
  2. Saling Menghormati: Jaga keseimbangan. Jangan ada yang merasa lebih tinggi (wanita merasa "kerja, jangan atur-atur" atau pria merasa "harus tetap jadi pemimpin"). Kalian adalah partner dan harus saling menghormati.
  3. Kiat Bisnis Umum. Rajin: "Orang rajin itu enggak mungkin miskin." Tetapi, untuk menjadi kaya, harus belajar banyak hal (manajemen keuangan, manajemen waktu).
  4. Pergunakan Waktu: Mulai bisnis selagi muda. Jarak 17 tahun dan 21 tahun akan sangat terasa perbedaannya.

Tunda Kesenangan (Manajemen Keuangan): Ini adalah kunci utama Love Semprong. Mereka menunda kesenangan (misalnya, berlibur ke luar negeri) dan memutar kembali uang usaha untuk usaha. Uang diinvestasikan untuk mesin yang lebih banyak (sekarang 37 mesin), dan toples yang lebih bagus, sehingga value Love Semprong terus meningkat. "Uang usaha kita pakai buat usaha lagi. Makanya bisa berkembang saat ini," tegas Victor.

Kisah Victor dan Jess membuktikan bahwa masa pacaran yang produktif dan disiplin keuangan yang ketat, dibarengi dengan inovasi dan keberanian mengambil risiko, dapat mengubah dua remaja menjadi pengusaha sukses dengan omset miliaran. Mereka membuktikan, cinta memang bisa menjadi modal yang sangat kuat untuk membangun masa depan bersama.

Kisah ini telah diceritakan pada saluran youtube HaloBos

SumberCouplepreneur Pelopor Semprong Isi di Indonesia ~ Cerita Loves Semprong

Posting Komentar

0 Komentar