Kisah Bisnis Bu Nimas, Pengusaha Buah Sukses memiliki tiga outlet dan jaringan reseller yang aktif

The Business Story of Mrs. Nimas, a Successful Fruit Entrepreneur with three outlets and an active reseller network

Nimas buah

Tulungagung, 2025 – Kisah ini berawal bukan dari gemerlap modal besar atau latar belakang pendidikan tinggi. Kisah ini lahir dari kamar sunyi seorang gadis lulusan SMP di Tulungagung yang tubuhnya kurus kering, hanya 35 kg, akibat penyakit hipertiroid yang menggerogoti. Di tangannya, hanya ada selembar uang Rp20.000 bekas motor telah terjual, aset lenyap untuk biaya pengobatan. Itulah titik nol seorang pejuang bernama Bu Nimas yang, tanpa disangka, menjadi awal dari sebuah bisnis buah-buahan yang kini memiliki tiga outlet dan jaringan reseller yang aktif. 
Kisah ini telah diceritakan pada saluran youtube : PecahTelur

Titik Balik di Tengah Keterpurukan: Rp20.000 dan Durian BS

Tahun 2017 menjadi saksi bisu permulaan perjuangan Bu Nimas. Sebelum jatuh sakit, ia bekerja di grosiran sejak usia 16 tahun, namun penyakit tiroid yang menyerang metabolisme tubuhnya memaksa ia menganggur selama dua tahun. Semua tabungan dan aset yang ia kumpulkan termasuk motor terjual habis untuk membeli obat.

“Waktu itu cuma pegang uang Rp20.000, belum menikah. Motor ndak punya habis kejual. Semua aset yang aku punya waktu bekerja itu aku jual buat beli obat. Habis, habis total, Mas. Uang cuma tinggal pegang Rp20.000 aja,” kenang Bu Nimas. Uang Rp20.000 itu pun didapat dari calon suaminya saat itu.

Dalam kondisi tanpa modal, tanpa aset, dan tubuh yang lemah, Bu Nimas harus memutar otak. Dengan modal nekat, ia memutuskan untuk berjualan durian secara online sebuah langkah yang tidak umum di Tulungagung kala itu (sebelum online seramai sekarang).

Ia kredit motor, lalu menggunakannya untuk ‘kulak’ durian ke daerah asalnya. Ia tidak membeli durian kualitas super, melainkan durian BS (Barang Sortir) durian yang sudah dimakan musang atau tidak layak jual dengan harga super murah: Rp2.500 per butir. Dari uang Rp20.000 itu, ia mendapat delapan butir durian.

Strategi pertamanya adalah menjual durian tersebut seharga Rp10.000 per butir secara utuh. Laris manis! “Dapatlah untung Rp80.000. Nah, mulai dari sana saya bawa ke sana lagi. Saya kulakkan Rp50.000. Yang Rp30.000 saya buat beli mika sama plastik,” ujarnya.

Dengan sisa modal itu, ia beralih ke strategi kedua: durian dikupas, dikemas dalam mika, dan dijual Rp10.000 per mika. Tujuannya, laba lebih banyak. Hasilnya fantastis: dari modal awal Rp20.000, ia berhasil mengantongi Rp200.000. Roda bisnisnya mulai berputar.

pasar buah

Masa Emas, Kepercayaan, dan Badai Pandemi

Setelah musim durian usai, Bu Nimas beralih ke buah lain. Ia belanja duku ke Pasar Ngemplak. Memulai dengan hanya 10 kg, buah duku itu ludes dalam dua jam setelah ia online-kan. Permintaan yang tinggi membuatnya berpikir untuk membuka kios.

Ia pun menyewa kios kecil di pinggir jalan dengan modal awal Rp800.000, di mana biaya sewanya hanya Rp15.000 per bulan. Bisnisnya berkembang pesat. Pelanggan membanjiri, omzet harian pun merangkak naik.

Puncak kejayaan datang ketika para pedagang besar di pasar mulai menaruh kepercayaan padanya. Melihat permintaan yang terus meningkat, seorang pedagang menawarinya sistem titip bayar—Bu Nimas bisa membawa barang dagangan (buah lokal hingga buah impor) lebih dulu dan membayarnya setelah laku.

“Ditawari, ‘Permintaanmu semakin banyak, gimana kalau bawa dagangan saya dulu, kamu jualan, nanti kalau habis baru dibayar.’ Itu saya juga takut, Mas. Soalnya kan pertama, itu pertamane bawa uang orang harus tanggung jawab kan harus jujur,” ungkapnya.

Dengan prinsip jujur yang dipegang teguh, ia menerima tawaran tersebut. Kepercayaan ini membuat bisnisnya melejit. Omzet harian kiosnya, yang tadinya hanya ratusan ribu, pernah mencapai Rp2 juta hingga Rp3 juta per hari. Bu Nimas bisa mendatangkan buah hingga dua sampai tiga becak penuh dalam sehari. Semua berjalan lancar.

Namun, badai datang pada tahun 2020: Pandemi COVID-19. Saat karantina dan pembatasan sosial diberlakukan, omzet harian yang pernah mencapai jutaan anjlok drastis. Ia sudah mencoba kembali ke ranah online, tetapi orang-orang enggan menerima tamu dan kondisi keuangan masyarakat tidak stabil.

“Keuangan masih gak stabil kan, kacau parah itu. Nah, tetap saja pemasukan menipis. Akhirnya buah kan kalau banyak kan tiap hari gak begitu laku kan busuk ya Mas. Nah, busuknya parah itu Mas. Parah. Bingung,” ujarnya menggambarkan masa-masa sulit tersebut.

Buah-buah impor dan lokal yang didatangkan dengan sistem titip bayar menumpuk dan membusuk. Kerugian akibat buah busuk dan minimnya pemasukan membuat ia kehilangan hampir semua aset dan terjerat utang pada pedagang pasar, dengan total kerugian mencapai Rp60–70 juta.

“Wah, itu aku hilang 1 tahun, Mas. Ndak ngabarin orang-orang pasar itu. Saya hilang itu. Wis kalap masih mumet di rumah kembali lagi itu penyakitnya. Berat saya 35 kilo lagi tuh,” kisahnya. Penyakit hipertiroidnya kambuh, ia kesulitan berdiri di tengah cobaan hamil dan melahirkan. Suami yang akhirnya harus berjualan jagung rebus keliling untuk menyambung hidup.

pasar buah

Bangkit dari Jurang Keputusasaan: Susu Segar dan Suami Setia

Dalam situasi terdesak, bahkan ia sempat terjerat utang riba dari "bank titil" (rentenir harian). Mertua dan tetangga sampai mengetahui masalah ini. Sebagian utang dibantu oleh mertua, namun sisanya masih banyak. Ia menjual semua aset di kios—kulkas, timbangan—bahkan motor suami pun terpaksa dijual.

Titik balik kedua terjadi ketika ia terdaftar sebagai peserta PKH (Program Keluarga Harapan). Dari bantuan bulanan Rp800.000, ia hanya mengatakan kepada suami mendapat Rp300.000. Sisanya, Rp500.000, ia gunakan untuk mencicil utang pada pedagang pasar.

Kemudian, ia melihat peluang di tengah pandemi: produk kesehatan sedang laris. Ia beralih berjualan susu segar, jahe, dan degan secara online. Susu segar diambil langsung dari koperasi di Sendang, dan ia harus telaten mengedukasi pembeli tentang cara mengonsumsi yang benar karena susu tersebut belum matang sempurna.

Penjualan susu segar laris manis. Dalam sehari, ia bisa menghabiskan 400 botol susu ukuran 1,5 liter. Keuntungan dari susu inilah yang perlahan menutupi utangnya. Bu Nimas mendatangi pedagang pasar yang memberinya kepercayaan, meminta maaf sambil menangis karena sempat "hilang" selama setahun. Alhamdulillah, para pedagang memaklumi karena saat itu pandemi memang meluluhlantakkan banyak usaha. Utang itu akhirnya lunas.

Dukungan Komunitas dan Keluarga

Selama masa pemulihan ini, Bu Nimas juga berjuang untuk sembuh dari hipertiroidnya. Ia sempat tidak berani periksa karena BPJS-nya mati. Ia bergabung dengan Pitatosca, grup khusus penderita tiroid. Melalui grup ini, ia berbagi kesulitan (sambat) dan tanpa disangka, ada peserta grup yang membantu membayarkan BPJS-nya sebesar Rp1,5 juta. Bantuan ini memberinya harapan untuk berobat dan sembuh, yang baru ia divonis normal pada tahun 2024.

Yang tak kalah penting adalah peran suami yang sudah dikenalnya sejak SMP. Suaminya adalah sosok yang setia menemani di titik terendah, bahkan saat dokter mengatakan hormon tiroid yang tinggi bisa membuatnya sulit punya anak.

“Saya sangat bersyukur kalau itu benar-benar bersyukur dapat suami yang baik, setia, terus menemani suami. Tahu, tahu, tahu dari mulai sakit. Jadi senang susahnya saya, beliau lebih tahu,” ungkapnya haru. Dukungan emosional suami yang selalu menyemangati, “Gak apa-apa, Dek. Nanti kalau rezekinya pasti akan kembali,” menjadi bahan bakar terpenting bagi Bu Nimas.

Kebangkitan Baru dan Tiga Outlet Sukses

Setelah utang lunas, Bu Nimas sempat trauma melihat pedagang buah. Namun, jiwa pengusaha tidak bisa dibohongi. Ia mendapat modal dari pemberian orang lain untuk berjualan es dawet hitam di kawasan wisata, namun usaha ini tak bertahan lama karena wisatanya tutup.

Ia lantas memberanikan diri kembali ke bisnis buah pada tahun 2020, dimulai dengan musim alpukat. Ia mencari petani langsung ke Tanggung Gunung. Alpukat ia online-kan lagi di Facebook. Pelanggan-pelanggan lama yang setia ternyata mencarinya.

Prinsip barunya: “Kalau memang ini rezeki saya di buah, ini memang jodoh saya, gak usah saya harus cari tempat di pinggir jalan seperti dulu, orang pasti datang ke sini nyari saya.” Ternyata, pelanggan benar-benar mencarinya hingga ke rumahnya di dalam gang. Bisnisnya kembali menggeliat. Ia bisa menjual 100-200 kg alpukat per hari.

pasar buah

Inovasi, Prinsip Dagang, dan Harapan

Kini, Bu Nimas bukan hanya berjualan di rumah. Ia telah memiliki tiga outlet buah segar dan grup reseller yang aktif. Pusatnya di Dusun Kalituri, Desa Waung, sementara outlet lainnya tersebar di Pinka Gapuro, Pinka Utara, dan Plosok Kandang.

Omzet harian di pusatnya, di waktu sepi, bisa mencapai Rp7-10 juta, dan saat ramai (dengan promo buah), bisa tembus Rp20-30 juta. Profitnya berkisar 10–40%. Baru-baru ini, ia juga merambah bisnis sayuran untuk mendongkrak omzet, karena pembeli pasti akan sekalian belanja sayur setelah membeli buah.

Prinsip dagangnya sederhana, berakar dari pengalaman pahitnya:

  • Jujur dan Telaten: Bu Nimas selalu memastikan barang dagangan harus fresh. Laba sedikit tapi cepat habis, karena buah dan sayur sangat rentan rusak. Yang rusak langsung dibuang atau diolah, demi menjaga kepuasan pelanggan.
  • Hindari Riba: Belajar dari pengalaman utang di masa pandemi, ia sebisa mungkin menghindari utang riba. Transaksi dengan penjual besar kini hanya dilakukan dengan sistem titip bayar pada satu atau dua orang terpercaya saja. Selebihnya, ia menggunakan modal sendiri.
  • Konsistensi dan Doa: Ia percaya pada ikhtiar yang ulet, konsisten, dan tidak gampang menyerah, sambil memperbanyak doa, tahajud, dan sedekah. Ia pernah mengalami praktik tidak menyenangkan (guna-guna) di kios lamanya, namun ia percaya bahwa membalasnya harus dengan meminta pada Yang Kuasa, bukan pada sesama dukun.
  • Barang Ada Baru Posting: Di ranah online (Facebook, TikTok, Instagram), ia berpegang pada prinsip: harus ada barang dulu baru diposting. Hal ini untuk menghindari kekecewaan pembeli yang terlanjur datang ke lokasi fisik.

Meski kini sukses, Bu Nimas tetap mencatat semua keuangan secara manual di buku-buku kecil. Ia memisahkan gaji karyawan, modal, dan pendapatan pribadi untuk mengelola fluktuasi harga buah yang tidak stabil.

Kini, Bu Nimas pemilik Berkah Rejo Mulyo telah membuktikan bahwa latar belakang pendidikan, modal, atau bahkan kondisi fisik tidak menentukan nasib. Berawal dari Rp20.000 dan tubuh 35 kg yang berjuang melawan penyakit, ia kini mampu merubah keadaan ekonomi keluarga, bahkan memiliki cita-cita mulia untuk mengumrahkan orang tua dan mertua sebagai bentuk bakti dan syukur.

“Orang tua, keluarga itu harus senang dulu sebelum saya,” tutupnya, memberikan pesan bahwa semangat hidup terbesarnya datang dari orang-orang terdekat.

Apakah Anda terinspirasi dengan kisah perjuangan Bu Nimas dalam membangun kembali usahanya? berikan komentar...

Kisah ini telah diceritakan pada saluran youtube : PecahTelur
Sumber : Wanita Tangguh! Hadapi Berbagai Ujian, Kini Sukses Berbisnis Modal 20 Ribu!

Posting Komentar

0 Komentar