Dr. Hegi Harjoyo's Business Journey: Building Best Doug Bakery from Scratch to Becoming a Consultant for 50 Clients
"Kalau kata Gen Z 'in this economy,' lebih enak jadi pengusaha daripada jadi karyawan. Eitsss, siapa bilang? Jadi pengusaha juga butuh perjuangan yang enggak main-main loh. Jatuh bangun dalam membangun usaha itu pasti ada. Apalagi kalau kita memulai bisnis benar-benar dari nol."
Di tengah gemuruh startup dan hype menjadi business owner, kalimat di atas seringkali menjadi semacam mantra. Menjadi pengusaha, konon, adalah jalan tol menuju kebebasan finansial dan gaya hidup enak. Matematika kesuksesan pun sering disederhanakan: sukses satu cabang, kalikan 10, beres. Namun, Dr. Hegi Harjoyo, seorang Business Consultant ulung di bidang Sumber Daya Manusia (SDM) dan pemilik Best Doug Bakery di Malang, hadir di studio untuk membongkar realita di balik "angin surga" tersebut.
Kisah Dr. Hegi yang diceritakan dalam saluran youtube Helmy Yahya Bicara bukan hanya tentang omzet yang meroket 750% dalam setahun, tapi juga tentang pelajaran mahal dari menutup tiga dari empat unit bisnis yang baru dibuka. Ini adalah kisah tentang roller coaster naik-turunnya seorang profesional kelas dunia yang harus berhadapan dengan "penipuan" dan "kecurangan" saat terjun ke dunia Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Dari Eksekutif Well-Educated ke Pemilik UKM: Realita yang Mengejutkan
Dr. Hegi Harjoyo memiliki latar belakang akademik dan profesional yang cemerlang. Lulusan Teknik Industri ITS, Magister Manajemen, dan Doktor Administrasi Bisnis dari Malaysia. Karier profesionalnya melesat, bahkan pernah menjadi Regional Manager di Philip Morris Sampoerna yang mengawasi operasional di berbagai negara seperti Pakistan, Filipina, Korea, hingga Indonesia. Ia jago di Human Resource, Supply Chain, dan Business Strategy.
Namun, semua kemewahan profesional itu seolah tak berlaku saat ia memutuskan terjun menjadi pengusaha. Kisahnya bermula di tahun 2020. Berbekal pesangon dari program Golden Second setelah mengajukan pengunduran diri, ia memulai Best Doug Bakery.
"2020 saya mulai nol tanpa penghasilan. Istri yang biasanya ngurusin anak akhirnya produksi roti," kenangnya. Sayangnya, dua tahun pertama adalah masa minus. Uang pesangon tergerus. Pengalaman dan keahlian sebagai eksekutif global ternyata tidak serta-merta menjamin kesuksesan instan di level UKM.
Belajar dari Kerugian: Empat Buka, Tiga Tutup
Semangat untuk cepat besar mendorong Dr. Hegi untuk membuka beberapa unit bisnis dalam waktu singkat: dua di Malang (salah satunya kafe), dan satu di Surabaya. Total empat unit bisnis.
"Kebanyakan aku ini pesangonnya belajar katanya temanya. Terus iya ongkos belajarnya lumayan Pak Helmi," guraunya. Realitanya pahit: tiga dari empat unit bisnis itu harus ditutup."Singkat cerita tinggal satu yang masih survive. Jadi dari empat, tiga kami tutup," jelasnya.
Fenomena yang ia hadapi benar-benar mengejutkan. "Di dunia profesional itu kan mohon maaf saya apa ya sempat jadi ekspatriat terus kemudian saya punya tim lulusan Jerman punya ya well educated ya terus begitu ngurusin UKM ini seru kan ada yang mencuri, ada yang menipu. Wow ini ini fenomena apa gitu ya. Saya sempat syok waktu itu."
Inilah roller coaster sesungguhnya menjadi pengusaha: bukan cuma bicara strategi, tapi juga berhadapan dengan dinamika SDM di lapangan, integritas, dan gejolak internal yang tak terduga. Bahkan, karena dua tahun minus dan roller coaster yang melelahkan, ia sempat berpikir untuk "insaf" dan melamar kerja lagi menjadi profesional, meskipun "untungnya enggak ada yang manggil."
Titik Balik: Konsultasi Sebagai Katalis Pertumbuhan
Dua tahun minus membuat Dr. Hegi mulai merangkak, sering ikut komunitas dan berbagi pengalaman tentang supply chain dan human resource management. Dari situlah muncul permintaan untuk menjadi konsultan. Awalnya hanya membantu, namun dampak positif yang dirasakan klien membuatnya diceritakan dari mulut ke mulut."Singkat cerita saya menanganin paralel empat klien waktu itu," ujarnya. Meskipun harus membagi fokus antara bisnis roti yang masih terseok-seok dan permintaan konsultasi yang membeludak, momentum ini justru menjadi titik balik.
Resep Rahasia Best Doug Bakery: Konsulting untuk Diri Sendiri
Menyadari ia tidak mungkin mengurus roti dan konsultasi sekaligus, Dr. Hegi mengambil langkah strategis: membangun tim manajemen di Best Doug Bakery. Tim ini bukan hanya pelaksana, tapi tim pemikir.
Luar biasa, strategi ini membuahkan hasil. Sejak April tahun lalu hingga Juni, omzet Best Doug Bakery melonjak 750%! Uniknya, keberhasilan ini adalah hasil dari "mengkonsultingkan diri sendiri," membangun tim, dan menerapkan prinsip-prinsip HR dan manajemen yang ia ajarkan ke klien.
Keberhasilannya sebagai konsultan juga fantastis. Hingga saat ini, portofolio kliennya goes to 50 dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun. Kliennya beragam, mulai dari Fast Moving Consumer Goods (FMCG) yang berhasil bertumbuh 10 kali lipat dalam 3 tahun, hingga perusahaan fashion yang naik 6 kali lipat dalam 1,5 tahun, bahkan ada yang berhasil menurunkan cacat produksi hingga 46%.
Yang lebih mencengangkan, dengan portofolio klien hampir 50, tim inti yang membantunya saat ini hanya tiga orang! "Cuman yang consulting ini justru lebih cepat dibandingkan Bakery dengan tiga orang," katanya.
Lantas, apa yang membuat Dr. Hegi mampu mengelola hampir 50 klien dengan tim yang sangat minimal, dan bagaimana ia bisa mendorong pertumbuhan bisnis yang radikal? Jawabannya terletak pada kerangka kerja manajemen yang fundamental.
Fondasi Kesuksesan: Kerangka Kerja High-Performance Organization
Dr. Hegi menyimpulkan bahwa rata-rata masalah di klien UKM adalah kurangnya rasa memiliki (ownership) dari tim. Ownership ini tidak akan muncul tanpa kejelasan (clarity).
1. Clarity: Ukuran Bisnis dan Strategi yang Jelas
"Segala hal yang enggak jelas kita enggak bisa ngeklaim harus punya output yang jelas," tegas Dr. Hegi.
Langkah pertama yang ia lakukan saat masuk ke klien adalah membangun indikator-indikator bisnis. Ia mengadopsi kerangka Balanced Scorecard meskipun ia mengakui penerapannya tidak gampang untuk mengukur finansial, pelanggan, proses, dan SDM.
"Kalau enggak ada ukuran, segala hal yang tidak terukur, sulit diukur, kita enggak tahu ini baik atau buruk. Kalau sulit diukur, sulit dievaluasi. Sulit untuk diperbaiki. Kalau sulit dievaluasi, sulit untuk diberikan advis," jelasnya.
Setelah ukuran bisnis jelas, langkah berikutnya adalah mendefinisikan Strategi dan Fokus. Tidak mungkin semua hal dikerjakan dalam satu waktu. Bisnis harus memilih fokus strategis, misalnya apakah prioritasnya kepuasan pelanggan, menaikkan skala bisnis, atau yang lainnya.
2. Job-People Fit: Menemukan Orang yang Tepat
Setelah strategi dan ukuran bisnis jelas, barulah Dr. Hegi membangun Organisasi yang relate dengan strategi yang akan dieksekusi. Poin fundamentalnya adalah Job-People Fit. "Organisasinya clear. Mikirin orang untuk naruh di posisi-posisi itu harus serius, enggak bisa sembarangan," ujarnya.
Job-People Fit memisahkan antara Job (kotak atau kursi) dan People (yang menempati kursi). Idealnya, Strategi bisnis harus jelas, Organisasi harus jelas (yang menciptakan Job) , Baru People-nya diisi belakangan setelah diketahui orang seperti apa yang dibutuhkan. Banyak business owner yang melakukan hal sebaliknya: merekrut orang tanpa strategi dan ukuran bisnis yang jelas, sehingga terjadi mismatch.
Instrumen Tes untuk Menilai Orang
Untuk memastikan Job-People Fit, Dr. Hegi menggunakan hingga delapan instrumen tes untuk menempatkan orang. Tiga pilar utama dalam penilaian people adalah:
- Kognitif (Kecerdasan): Penting, terutama untuk tim pemikir, agar proses pembelajaran di posisi baru tidak memakan waktu lama.
- Minat (Interest): Ini sangat fundamental. Minat yang tidak sesuai dapat menyebabkan penurunan performa drastis. Ia memberi contoh tim gudang yang tidak perform karena minat sosialnya tinggi (sehingga lebih suka berinteraksi daripada fokus pada stok), namun saat dipindah ke sales justru menjadi top performer. Sebaliknya, ada orang dengan minat sosial rendah yang justru menjadi top performer di gudang karena menikmati waktu sendirian di antara karung-karung stok.
- Kepribadian (Personality) & Karakter: Karakter dinilai menggunakan Behavioral Interview dengan lima standar kompetensi yang ia buat sendiri: Integritas, Learning, Drive, Result, dan Positive Attitude.
Penilaian ini sangat detail, bahkan untuk posisi manajer, menghasilkan assessment report hingga tiga lembar yang memotret apakah kepribadian seseorang misalnya yang tidak tertarik membangun interpersonal layak memimpin tim.
3. Pilar Membangun Ownership
Selain Clarity dan Job-People Fit, Dr. Hegi menyebutkan empat pilar lain yang membentuk ownership tim:
- Compensation (Kompensasi): Harus jelas, clear, dan agresif. Insentif dibuat seperti anak tangga yang mendorong performa.
- Meaning (Purpose): Bisnis tidak cukup hanya mencari uang. Tim harus tahu purpose yang lebih besar mengapa mereka harus tetap berada di bisnis tersebut. Timnya yang mayoritas Gen Z sering kerja dari pagi ketemu pagi tanpa disuruh, dan bahkan harus diusir, karena mereka mendapatkan meaning (merasa bertumbuh, mendapat ilmu, dan bermanfaat bagi orang lain).
- Job-People Fit: Sebagaimana dijelaskan, ini adalah fundamental yang membuat orang tidak menderita saat bekerja.
- Kompetensi (Skill, Attitude, Knowledge): Ownership dapat mendorong performa, tetapi akan mentok dalam 6 bulan jika skill tidak ditingkatkan. "Kalau kita misalnya bayangkan Pak Helmi kalau kita mengelola bisnis R juta sama misalnya 10 M itu kan beda skill," jelasnya. Kompetensi harus terus dikembangkan seiring dengan pertumbuhan skala bisnis.
Tips Scale-Up Bisnis untuk Berbagai Skala
Di akhir wawancara, Dr. Hegi memberikan pandangan sebagai konsultan mengenai tahapan pertumbuhan bisnis:
- Bisnis Mikro/Baru Mulai: Fokus utama adalah Jualan. Produk market fit harus tercapai.
- Bisnis Menengah (Sudah Ketemu Market): Masalah mulai bergeser ke Manajemen (Tata Kelola). Tata kelola SDM, finansial, dan supply chain menjadi krusial karena kompleksitas volume.
- Bisnis Skala Besar (Mencari Akselerasi): Fokusnya adalah Finansial (scale-up, IPO, Venture Capital), dan isu Generasi (Pergantian Generasi) dari perintis ke pengembang yang seringkali tidak disiapkan dengan baik.
Bagi Gen Z yang mungkin berpikir menjadi pengusaha itu mudah, kisah Dr. Hegi Harjoyo adalah cermin. Di balik omzet 750% dan portofolio 50 klien, ada cerita dua tahun minus, penutupan tiga cabang, dan kejutan roller coaster SDM. Kesuksesan bukan hanya milik ide brilian, tapi milik mereka yang berani mendefinisikan kejelasan, berinvestasi serius pada Job-People Fit, dan tak lelah membangun meaning serta kompetensi tim.
Jadi, kalau kata Gen Z, "in this economy," menjadi pengusaha itu memang lebih enak. Tetapi, "enak" di sini bukan berarti mudah, melainkan enak karena bertumbuh dengan fondasi manajemen yang kuat dan ownership tim yang tinggi.
Sumber : Kunci Untuk Buat Bisnis Kamu Tumbuh! | Helmy Yahya Bicara
0 Komentar