Di sebuah kota kecil di Jawa Barat, hiduplah seorang pemuda bernama Alif Pratama (samaran). Sejak kecil, ia terlahir dari keluarga sederhana, di mana ayahnya adalah seorang buruh harian lepas dan ibunya seorang ibu rumah tangga yang memiliki warung sembako kecil. Latar belakang yang serba pas-pasan ini menumbuhkan sebuah mimpi besar dalam diri Alif: ia harus menjadi sukses untuk mengangkat derajat keluarganya dan bisa membantu lebih banyak orang.
Berkat prestasinya, Alif mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di jurusan peternakan. Namun, sebelum masuk kuliah, ia memutuskan untuk mencari pengalaman hidup. Ia merantau ke sebuah kota besar dan bekerja sebagai kasir selama empat bulan. Pengalaman ini memberinya modal dan pelajaran berharga. Setelah mendapatkan panggilan untuk kuliah, ia pun memulai perjalanannya sebagai seorang mahasiswa.
Di universitas, Alif menerima uang saku dari beasiswanya, sebesar Rp4.2 juta per semester. Alih-alih menghabiskan uang itu, ia justru menabungnya. Setelah dua semester, tabungannya terkumpul hingga Rp8.4 juta. Uang ini ia gabungkan dengan hasil tabungan dari pekerjaannya dulu. Dengan total modal yang terkumpul, ia berani mengambil langkah besar: membeli dua ekor sapi pertamanya. Dari sinilah, sebuah bisnis peternakan yang ia beri nama Nusa Farm lahir di tahun 2019.
Model bisnisnya sederhana: penggemukan sapi pedaging. Ia membeli sapi-sapi kurus yang disebut "bakalan" dan menggemukkannya selama delapan bulan untuk persiapan Idul Adha. Namun, merintis bisnis dari nol tidaklah mudah. Apalagi bagi seorang mahasiswa. Di saat teman-temannya menghabiskan waktu luang untuk nongkrong di kafe, Alif memiliki prioritas yang berbeda. Ia dikenal sebagai mahasiswa yang membawa arit dan karung ke kampus. Setelah kelas selesai, ia tidak pulang ke rumah, melainkan langsung pergi ke sawah di sekitar kampus untuk mencari pakan gratis, seperti jerami, limbah padi.
Kehidupan ganda ini tidak lepas dari cibiran teman-temannya. Ada sebuah momen yang tak terlupakan dan menjadi cambukan terbesarnya. Suatu hari, seorang temannya ikut menumpang di motornya. Tanpa sepengetahuan Alif, temannya itu membuka tasnya, mengambil foto arit dan karung yang ada di dalamnya, lalu mengirimkannya ke grup percakapan. "Lihat, si Alif bawa arit dan karung, mau tawuran katanya," begitu candaan yang ia dengar. Di momen itu, ia merasa sedih dan terhina. Namun, ia tidak larut dalam kesedihan. Cibiran itu justru menjadi energi dan motivasi terbesarnya. "Kalau mau sukses itu harus dicemooh, harus!" begitu prinsip yang ia pegang teguh.
Sapi-sapi yang ia beli dari hasil tabungannya pun menjadi prioritas utama. Bahkan, ia rela meninggalkan kekasihnya yang tidak bisa memahami kesibukannya. Ketika sang kekasih memintanya untuk dijemput atau diantar, Alif lebih memilih untuk mengurus sapi-sapinya. "Saya tinggalkan saja, lebih utamakan sapi karena yang menghasilkan sapi," ujarnya dengan santai. Baginya, sapi adalah segalanya, yang paling utama dan harus diutamakan.
Cobaan besar datang di tahun ketiga bisnisnya. Karena ia membeli sapi dari luar daerah, ia belum memahami betul penanganan sapi yang baru datang. Sapi-sapi yang ia beli dari Jawa memiliki suhu dan pakan yang berbeda dengan yang ada di Garut, sehingga mereka mengalami kembung. Karena kurangnya pengetahuan, ia tidak tahu cara menanganinya, dan sapi-sapinya pun mati. Kerugian yang ia derita mencapai Rp100 juta. Sebuah pukulan telak yang bisa membuat siapa pun menyerah. Namun, ia tidak berhenti. Ia terus belajar dan melanjutkan usahanya. "Kalau berhenti, kerugian itu tidak akan pernah tertutup," tekadnya.
Alif tidak hanya mengandalkan semangat, tetapi juga strategi. Untuk menekan biaya operasional, ia mencari pakan limbah yang murah, seperti ampas tahu dan jerami padi. Baginya, pakan mahal tidak menjamin sapi akan sehat dan gemuk. Yang terpenting adalah sapi nyaman, makannya enak, dan sehat. Dengan menekan biaya pakan, ia bisa mendapatkan keuntungan yang optimal.
Di tahun pertama, ia hanya memiliki dua ekor sapi dengan modal Rp20 juta. Setelah enam bulan, dua sapi tersebut laku terjual dengan keuntungan Rp11 juta per ekor. Keuntungan ini tidak ia nikmati, melainkan ia putar kembali untuk membeli empat ekor sapi. Setelah bisnisnya terlihat menjanjikan, ia memberanikan diri untuk meminjam uang ke bank untuk ekspansi. Namun, ia kini kapok. "Capek, dikejar-kejar bank," kenangnya. Ia menyarankan pengusaha lain untuk tidak mengambil utang besar di awal. Ia lebih memilih untuk mengembangkan bisnisnya melalui sistem bagi hasil dengan investor.
Banyak orang yang heran bagaimana Alif bisa mengembangkan bisnisnya dari dua ekor hingga mencapai target 200 ekor di tahun ini. Alif menjelaskan bahwa itu semua berkat kepercayaan investor. Ia memiliki sistem yang disebut "gaduh," di mana investor menitipkan modal, dan ia yang mengelola sapi tersebut. Kepercayaan ini didapat dari kejujuran dan hasil kerja keras yang ia tunjukkan. "Kalau kita jujur, berapa pun bakal datang sendiri," ujarnya.
Meskipun kini sukses, Alif belum pernah menikmati hasil jerih payahnya. Semua keuntungan ia investasikan kembali untuk membeli tanah dan membangun aset. Ia sudah membangun kandang yang lebih besar dan sebuah rumah di dekat kandang. "Tidak bisa jauh dari kandang," katanya, karena pikirannya selalu berada di sapi-sapinya. Ia menunda semua keinginan pribadi, seperti membeli mobil, demi masa depan. Baginya, masa muda adalah masa untuk berjuang keras, agar masa tua bisa menikmati hasilnya.
Kunci suksesnya, menurut Alif, adalah doa seorang ibu. Nama perusahaannya, Nusa Farm, juga berasal dari sebuah petunjuk. Saat ia turun dari bus di sebuah terminal, ia melihat sebuah gapura dengan tulisan "Nusa Rahayu," yang ia yakini sebagai petunjuk dari ibunya. Ia pun mengambil nama "Nusa" dari sana, sebagai pengingat akan restu ibunya.
Alif juga memiliki filosofi yang kuat tentang peternakan. Ia percaya bahwa peternakan adalah kebutuhan pokok yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh robot. Ia ingin terus belajar dan mengembangkan usahanya. Ia juga memiliki impian besar, tidak hanya tentang sapi, tetapi juga merambah ke bidang lain, seperti restoran atau peternakan ayam.
Bagi Alif, peternakan bukan hanya tentang bisnis, tetapi juga tentang pengabdian. Ia memiliki pesan kuat untuk para pemuda: "Jangan malu, jangan gengsi." Ia menekankan pentingnya memulai di usia muda, saat masih memiliki banyak energi dan waktu. Ia ingin agar para pemuda tidak menghabiskan masa produktifnya untuk hal-hal yang tidak berguna. "Lebih baik susah di waktu muda, daripada susah di waktu tua," pesannya.
Alif Pratama adalah bukti nyata bahwa keterbatasan ekonomi dan cibiran tidak bisa menghentikan mimpi. Dengan ketekunan, kejujuran, dan restu orang tua, seorang pemuda yang dianggap bodoh dan dicemooh, bisa berubah menjadi seorang pengusaha sukses yang menginspirasi.
0 Komentar